Pages

Subscribe:

Selasa, 29 Mei 2012

Masuknya Bangsa-Bangsa Asing Ke Indonesia


Pada tahun 1453 orang-orang Turki Ottoman menaklukan Konstantinopel, namun bila dibandingkan dengan orang-orang Eropa telah mengalami perkembangan teknologi  dengan pesat sehingga memberikan pengaruh bagi bangsa Portugis untuk mengaruni Samudera diman hal ini merupakan suatu petualangan yang paling berani sepanjang zaman hanya deengan berbekal pengetahuan geografis, astronomi dan arsitektur perahu.
            Selain didukung oleh perkdmbangan teknologi yang mendukung untuk melakukan ekspansi ke seberang lautan mereka juga memiliki tekad dan kepentingan-kepentingan khusus. Atas dorongan Pangeran Henry dan para pelindung lainnya, para pelaut dan petualang Portugis memulai pencarian panjang mereka menyusuri pantai barat Afrika untuk mencari emas, memenangi pertempuran, dan meraih jalan untuk mengepung lawan yang beragama islam. Mereka juga berusaha mendapatkan jalan ke Asia dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang Islam yang melalui yang melalui tempa penjualan mereka di Venesia (Mediterania), momonopoli impor rempah-rempah ke Eropa  Karena rempah-rempah merupakan soal kebutuhan dan juga cita rasa. Selama musim dingin orang-orang Eropa, tidak adap satupun cara untuk yang dapat dilakukan agar daging hewan ternak mereka dapat bertahan lama pada musim dingin. Hal tersebut dapa dilakukan dengan campuran rempah-rempa. Dimana asal rempah –rempah tersebut diimpor dari kawasan Asia tenggara termasuk Indonesia seperti cengkih.
            Ketenaran kawasan Asia Tenggara yang kaya akan rempah-rempah sehingga memberikan hasrat yang tinggi bagi orang-orang Eropa untuk dapat menguasai. Setelah mendengar laporan dari pedagang Asia mengenai kekayaan Malaka yang sangat besar, maka Raja Portugis mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan Malaka, menjamin hubungan persahabatan dengan penguasanya, dan menetap di sana sebagai wakil Portugis di sebelah timur India. Tugas Sequeira tersebut tidak mungkin terlaksana seluruhnya ketika dia tiba di Malaka pada tahun 1509. Pada mulan kedantangannya disambut baik oleh Sultan Mahmud Syah tetapi kemudian komunitas dagang Islam internasional yang tinggal di kota tersebut meyakinkan Sultan Mahmud Syah bahwa Portugis merupakan ancaman besar baginya, akhirnya ia berbalik melawan Portugis.
            Pada bulan April 1511. Alberqueque melakukan pelayaran dari Goa Portugis menuju Malaka dengan kekuatan kira-kira 1.200 orang dan 17 atau 18 buah kapal. Peperangan pecah segera setelah kedatangannya dan berlangsung terus secara sporadis  sepanjang bulan Juli  dan awal Agustus. Pihak Malaka terhambat pertikaian sengit antara Sultan Mahmud dan Putranya Sultan Ahmad. Hingga pada akhirnya kekalah bera di pihak Malaka, namun perlu diperhatikan juga bahwa Malaka mulai sekarat sebagai pelabuhan dagang selama berada di bawah cengkraman Portugis, karena mereka tidak pernah berhasil memonopoli perdangangan Asia. Mereka hanya punya sedikit sedikit pengaruh terhadap kebudayaan orang-orang Indonesia yang tinggal di Nusantara bagian Barat, dan segera merak menjadi bagianyang asing di lingkungan Indonesia.
            Sultan Ternate Abu Lais membujuk bangsa Portugis untuk mendukungnya, dan pada tahun 1522, mereka mulai membangun sebuah benteng. Sultan Mansur dari Tidore mengambil keuntungan dari kedatangan sisa-sisa ekspedisi pelayaran keliling dunia Magellan di tahun 1521 untuk membentuk satu persekutuan dengan bangsa Spanyol yang bagaimanapun, tidak memberikan banyak hasil dari periode ini.
            Hubungan Portugis dan Ternate berubah menjadi tegang karena upaya Portugis melakukan kristenisasi dan karena prilaku tidak sopan dari orang-orang Portugis sendiri pada umumnya. Pada tahun 1535, orang-orang Portugis di Ternate menurunkan Raja Tabariji dan mengirimnya ke Gowa yang dikuasai Portugis yang kemudian membaptisnya sehingga dia masuk agama Kristen. Namun sejarah portugis di maluku tidak berujung baik, karena  terjadi suatu peristiwa yaitu pembunuhan Sultan Hairun pada tahun 1570 oleh orang-orang Portugis, sehingga mereka diusir secara paksa dari Ternate pada tahun 1575 setelah terjadi pengepungan selama lima tahun.
            Pengusiran tersebut membawa Portugis ke Tidore dan membangun Benteng baru pada tahun 1578. Akan tetapi Ambonlah yang menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku. Ternate sementara itu menjadi sebuah negara yang gigih menganut Islam dan anti Portugis di bawah pemerintahan Sultan Baabullah dan Putranya Sultan ad-Din Berkat Syah.   
            Pada periode ini terjadi berbagai peperangan dan misionisasi dari orang-orang Portugis bagi mereka yang kalah dalam peperangan melawan Portugis terutama bagi raja yang ditaklukinya pembaptisan adalah kegiatan yang dilakukan kepada mereka yang ditakluki, karena hal ini merupakan salah satu tujuan awal mereka selain memonopoli rempah-rempah.
Kedatangan Bangsa Portugis ke tanah Nusantara yang membawa misi Perang Salib dan monopoli rempah-rempah namun tindakan mereka tentu mendapat tanggapan yang kurang baik, karena sebelum kedatangan mereka Nusantara sebagian besar telah memeluk Islam bahkan terjadi suatu konflik kekuasaan yang didapatkan reaksi dari raja-raja Nusantara. Setelah bangsa Portugis kemudian datang orang-orang Belanda yang mewarisi aspirasi-aspirasi dan strategi Portugis. Orang-orang Belanda membawa organisasi, persenjataan, kapal-kapal, dan dukungan keuangan yang lebih baik serta kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama.
            Perang kemerdekaan Belanda melawan Spanyol pada tahun 1560-an dan berakhir pada tahun 1648, dimana karena perang tersebut memberikan pengaruh besar dimana pasaca perang tersebut orang-orang Belanda telah bertindak sebagai perantara dalam penjualan rempah-rempah secara eceran dari Portugis ke Eropa bagian utara, tetapi karena perang kemerdekaan tesebut, ditambah dengan bersatunya tahta Spanyol dan Portugal pada tahun 1850, yang mengakibatkan mengacaukan jalur orang-orang Belanda untuk mendapatkan rempah-rempah yang dibawa dari Asia oleh orang-orang Portugis.
            Pada tahun 1595, ekspedisi Belanda yang pertama siap berlayar ke Hindia Timur. Sebanyak 4 buah kapal dengan 249 awak dan 64 pucuk meriam berangkat di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Pada tahun 1596, kapal-kapal de Houtman tiba di Banten, pelabuhan lada de terbesar di Jawa Barat. Di sana orang-orang Belanda segera terlibat dalam konflik, baik dengan orang-orang Portugis maupun dengan orang-orang pribumi, hingga pada akhirnya de Houtman meninggalkan Banten dan berlayar ke timur dengan menyusuri pantai utara Pulau Jawa, sambil melakukan banyak penghinaan dan menyebabkan kerugian yang besar di setiap pelabuhan yang dikunjunginya.
            Pada zaman yang dikenal sebagai zaman pelayaran liar (wilde vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda yang saling berasaing dan berjuang keras untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah Indonesia. Pada tahun 1599 armada yang dipimpin oleh Jacob van Neck tiba di Maluku, diman rombongan tesebut diterima dengan baik sehingga ketika armada tersbut kembali ke negara asalnya dimana kapal-kapalnya mengengkut cukup banyak rempah-rempah yang menghasilkan keuntungan besar 400 persen.
            Sebelumnya pada tahun 1598 Parlemen Belanda (staten general) mengajukan sebuah ulasan supaya perseroan-perseroan yang saling bersaing sebaiknya menggabungkan kepentingan mereka masing-masing ke dalam satu fusi dimana hal tersebut dapat terwujud dalam waktu empat tahun. Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan yang saling bersaing bergabung membentuk Perserikatan Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereening-de oost-Indische Compagnie). Pada tahun-tahun pertama, Heeren XVII menangani sendiri segala urusan VOC, tetapi segera disadari bahwa mereka tidak mungkin mengelola dengan baik pelaksanaan tugas harian di Asia. Jarak kawasan yang sangat jauh sehingga pertukaran berita antara Amsterdam dan Indonesia dapat memakan waktu dua atau tiga tahun sehingga dibentuklah cabang VOC yang berada di Ambon (Indonesia).
            Orang-orang Portugis yang lebih dulu berada di Ambon mendapatkan tekanan berat yang dilancarkan oleh musuh-musuh lokal mereka pada akhir abad XVII, namun dengan kedatangan orang-orang Belanda yang juga menginginkan daerah tersebut, sehingga Belanda memanfaatkan situasi tersebut, yaitu dengan membantu Hitu yang tak lain adalah musuh dari Portugis. Akhirnya, orang-orang Portugis menyerah yang berlanjut dengan VOC menduduki benteng Portugis di Ambon, mengganti namanya dengan Victoria.
            Meskipun sudah mendapatkan keberhasilan di Ambon, tetapi orang-orang Belanda masih jauh dari tujuan mereka yaitu memonopoli semua rempah-rempah sehingga harus dilakukan langkah-langkah yang lebih keras, sehingga pada tahun 1610 diciptakan jabatan Gubernur Jenderal, sedangkan untuk mencegah kemungkinan kekuasaan Gubernur Jenderal yang despotis, maka dibentulah Dewan Hindia (Raad van Indie) untuk menasehati dan mengawasinya.
            Kebutuhan markas besar yang permanen di Nusantara bagian barat semakin terasa dengan meningkatnya ancaman persaingan dari pihak Inggris yang juga ikut dalam melangsungkan perdagangan rempah-rempah. Selama 1611-1617, orang-orang Inggris juga mendirikan kantor-kantor dagang mereka di Indonesia diantaranya di Sukadana, Makasar, Jayakarta, Jepara, Aceh, Pariaman, dan Jambi. Konflik Inggris-Belanda semakin memuncak ketika orang-orang Belanda merasa bahwa cita-cita monopoli mereka telah luput.
            Pada awal abad XVII pihak VOC mendapatkan ancaman militer lebih kecil dari pihak Inggris dibandingkan dengan pihak Portugis dan Spanyol. Namun demikian, kegiatan-kegiatan Inggris telah memperbesar keinginan VOC untuk mendapatkan suatu pusat pertemuan. Kegiatan orang-orang  Inggris tersebut juga memberikan kesan kepada VOC tentang perlu ditingkatkannya langkah-langkah yang keras apabila mereka ingin mencapai tujuan untuk memonopoli rempah-rempah, pada tahun 1619 Jan Pieterzoen Coen menjadi Gubernur Jenderal dan dialah yang menempatkan VOC pada suatu tempat berpijak yang kokoh dimana cara kekerasan dilakukan olehnya yaitu melalui peperangan untuk dapat menguasai perdagangan.
            Akibat kebijakan Coen sehingga terjadi peperangan di berabagai kawasan Nusantara dan mengakibatkan banyak korban bagi kaum pribumi, namun karena kebijakannya Belanda besahasil mewujudkan apa yang diinginkannya yaitu memonopoli rempah-rempah. Selain itu Coen juga mendapatkan pusat pertemuan untuk VOC, dimana Coen lebih menyukai Jayakarta untuk dijadikan sebagai markas besar VOC yang permanen.  Tempat ini memiliki pelabuhan yang sangat bagus, yang telah dipuji oleh Tome Pires satu abad sebelumnya sebagai salah satu pelabuhan terbaik di Jawa, dan Coen mengira bahwa VOC dapat berkuasa sepenuhnya di sana. Jayakarta diperintah oleh seorang Pangeran Muslim bernama Pangeran Wijayakrama yang merupakan vasal Banten. Terjadi ketegangan antara Jayakarta dan Banten, dimana orang-orang Belanda maupun Inggris terlibat di dalamnya.
            Pada bulan Desember 1618, Banten mengambil keputusan untuk menaklukan Jayakarta dan VOC. Laksamana Inggris, Thomas Dale, didesak untuk pergi ke Jayakarta untuk mengusir orang-orang Belanda yang ada di sana. Di pelabuhan Dale di hadang oleh Coen, namun Dale dapat memukul mundur Coen dan armadanya. Kemudian Dale dan Wijayakrama bersama-sama mengepung benteng Belanda. Ketika personil VOC mengambil keputusan untuk menyerah pada akhir Januari 1619, secara tiba-tiba muncul balatentara Banten menghalangi maksud mereka. Karena Banten tidak ingin pos VOC yang mneyusahkan itu digantikan oleh pos Inggris yang tentunya juga sama akan menyusahkan bagi Banten. Sehingga terjadi petempuran yang mengakibatkan kekalahan di pihak Thomas Dale dan Wijayakrama, dan akhirnya VOC tetap menduduki pos mereka sedangkan balatentara Banten menduduki kota. Kemdian pada tanggal 12 Maret 1619 Jayakarta diubah namanya menjadi Batavia yang diambil dari nama suku bangsa Jerman Kuno di Negeri Belanda.
            Pada tanggal 30 Mei 1619, Coen menyerang kota, meratakannya dengan tanah, dan memukul mundur tentara Banten. Pada akhirnya Jayakarta menjadi markas besar kerajaan niaga voc yang luas, dimana VOC dapat membangun pusat militer dan administrasi di tempat yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang, yang terletak di Nusantara bagian barat dan mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia Timur, Timur Jauh, dan Eropa.
            Akan tetapi, timbul pula dampak-dampak yang kurang menguntungkan bagi VOC, pendudukan permanen atas Batavia memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelolanya. Meskipun jumlah penduduknya yang berkebangsaan Eropa tidak banyak, namun kota tersebut berkembang pesat ketika orang-orang Indonesia dan terutama orang-orang Cina pindah ke sana untuk mengejar keuntungan perdagangan yang ditawarkan Batavia bagi mereka. Penduduk ini perlu diberi makan, yang berarti bahan makanan harus diimpor, dan sumber terdekatnya ialah pantai utara Jawa dan juga mengantisipasi dari serangan-serangan yang mungkin terjadi seperti Banten di Barat dan Mataram di timur. Batavia merupakan penyebab utama merosotnya kondisi keuangan VOC. Kota ini juga menjadi landasan bagi berkembangnya  pemerintahan Belanda di Jawa nanti. Tetapi tentu saja hanya setelah menimbulkan banyak pertumpahan darah dan kesulitan.

M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. Serambi. 2005.


Sabtu, 26 Mei 2012

Makna Upacara Yadnya Kasada




Sejarah Upacara Yadnya Kasada
Kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung berapi dari zaman prasejarah sampai sekarang memang masih kuat. Orang yang tinggal di daerah Gunung Merapi percaya bahwa ada Kraton Mahluk Halus di gunungnya yang mirip Kraton Mataramdalam duina manusia. Selanjutnya Kraton Mahluk Halus tersebut adalah bagian kosmologi manusia yang lebih luas termasuk Laut Selatan, Gunung Lawu dan Khayangan, Dhepih dalam dunia gaib dan Kraton Mataram di Yogyakarta dalam duina manusia. Rakyat yang tinggal di desa-desa terletak di lereng Gunung Merapi yang punya kepercayaan mengenai dunia akhirat dan roh leluhur yang pula termasuk kosmologi gaib tersebut. Masyarakat Tengger yang percaya bahwa Gunung Bromo didiami oleh mahluk halus serta roh leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal manusia Tengger. Orang di beberapa esa Tengger pula punya kepercayan mengenai dunia akhirat dan termasuk Gunung Mahamert serta Gunung Bromo. Selanjutnya gunung di daerah Tengger juga berarti luas untuk orang non-Tengger yang datang ke daerahnya untuk rekreasi, upacara atau semedi seperti Upacara Kasada.[2]
Menurut ceritera, asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta brahma bernama Joko Seger.
Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger yang Budiman”. Nama tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger.
Kata tengger berarti juga tenggering budi luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak Gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar dikaruniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orangtua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib: “Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orangtua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo”.
Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger[3] dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo. Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung bromo. Dan setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung bromo. Up`cara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama dibulan kasodo menurut penanggalan jawa. Tempat untuk mengadakan upacara kasada adalah Pura Luhur Poten Gunung Bromo, tidak seperti pemeluk hindu pada umumnya yang memiliki candi-candi sebagai tempat ibadah. Namun poten merupakan sebidang tanah dilahan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada. Sampai sekarang adat istiadat ini dilakukan secara turun menurun.
Selain itu Upacara Kasada bromo juga dilakukan untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar mereka dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal mantera mantera. Beberapa hari sebelum Upacara Kasada bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger berbondong bondong dengan membawa ongkek yang berisi sesajo dari berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Lalu mereka membawanya ke Pura dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka kembali menghafal dan melafalkan mantera, tepat tengah malam diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir gunung bromo.
Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah sangat penting. Karena mereka bertugas memimpin acara – acara ritual, perkawinan dll. Sebelum lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara menghafal dan lancar dalam membaca mantra mantra. Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.[4] 

Prosesi Yadnya Kasada (Upacara Kasada)

            Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

            Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkimpoian dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek[5] yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jath hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo. 
Pada malam ke-14[6] Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi jeselamatan oleh Yang Maha Kuasa.
Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkimpoian dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
Dalam  pelaspasan ongkek ini tidak ada persembahyangan, baik oleh Carik maupun keluarganya. Satu hal yang unik adalah tempat pemujaan ongkek di halaman rumah yang beralaskan tikar. Dalam tugas pelaspasan ongkek, dukun  memakai  busana  khusus  yaitu  berkain  dan  berbaju hitam,  memakai  tutup  kepala  yang biasa dikenal dengan istilah  blangkon. Dukun berselempang kain kuning yang melintang menyilang di depan dada, yang ujungnya berisi uang  kepeng dan diikatkan pada rumbai kain kuning yang merupakan selempang tersebut. Tidak terlihat dukun memakai  genta, dan setelah selesai pemujaan,  ongkek masih ditempatkan di rumah Carik sambil menunggu pemberangkatan yang dilaksanakan sekitar pukul 22.00 – 01.00 WIB.
Selanjutnya salah satu  ongkek yang telah dibuat dan di-pelaspas di rumah Carik dipersembahkan di Dingklik (untuk desa-desa kawasan Pasuruan) atau di  Cemoro Lawang  (untuk desa-desa di kawasan kabupaten Probolinggo), sedangkan  ongkek  yang satunya lagi langsung dibawa ke Poten, yakni suatu tempat berupa altar memanjang tempat para dukun melakukan pemujaan di kaki gunung Bromo di tengah-tengah Segara Wedhi. Di tempat itu pula para dukun mulai berdatangan, masing-masing membawa sebuah  ongkek,  sangku, perapian untuk membakar kemenyan dan sesaji berupa makanan. 
Pada sekitar pukul 01.00 WIB calon dukun yang akan diuji dan dilantik telah bersiap diri. Ujian calon dukun yang disaksikan oleh para dukun dari semua desa di kawasan Tengger itu disebut mulunan,  sedang bentuk ujiannya adalah merapalkan mantera-mantera yang telah diajarkan oleh ketua dukun. Seandainya apa yang telah dipelajari tersebut dapat dirapalkan dengan baik dan dibenarkan para dukun yang hadir, maka yang bersangkutan dinyatakan lulus dan berhak menjadi dukun, dengan ditandai pemasangan atribut  selempang kain kuning. Sebaliknya bila yang  bersangkutan  salah merapalkan  mantera-mantera  dan  juga disalahkan  oleh  para  dukun, maka calon dukun diijinkan untuk mengikuti ujian lagi pada upacara tradisional Kasada tahun berikutnya.
Atribut dukun penguji atau dukun lainnya adalah sama, yakni memakai  kain hitam atau batik hitam, berbaju hitam dengan tutup kepala  blangkon dan  selempang kuning yang kedua ujungnya ditempatkan di samping agak ke belakang dengan uang  kepeng yang dimasukkan di dalamnya. Setelah selesai pelantikan dukun baru, tibalah saatnya mempersembahkan sesaji ke hadirat Hyang Maha Agung. Pada saat ini para dukun merapalkan mantera, memercikkan air suci dan membakar kemenyan. Mestinya pada saat upacara tradisional ini semua dukun harus hadir, kecuali dukun yang sedang menghadapi pantangan hadir, misalnya jika ada seseorang yang meninggal dunia pada antara 44 hari sebelum pelaksanaan upacara Kasada.
Setelah selesai pemujaan di Poten dan waktu telah mencapai putih wetan  yaitu matahari sudah mulai terbit, maka saat itu pula upacara  ngelabuh sesaji di kawah gunung Bromo telah selesai dilaksanakan. Setelah upacara selesai dilaksanakan  oleh para dukun, maka berakhir pula upacara tradisional Kasada, yang selalu dilaksanakan setiap tahun di kawah gunung Bromo.
Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.[7]
Makna Dibalik Upacara Kasada
Upacara tradisional merupakan salah satu bentuk ungkapan budaya, banyak mengandung nilai-nilai yang dapat diteladani dan diinternalisasi oleh generasi penerus. Pada hakekatnya sistem nilai merupakan posisi sentral dari struktur budaya suatu masyarakat, dan sistem nilai merupakan fenomena dan problem dasar kehidupan manusia, karena sistem nilai merupakan perangkat struktur dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun secara sosial.  Demikian pula nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Kasada, merupakan fenomena dan problematik dasar dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, sehingga upacara ini senantiasa dilaksanakan oleh masyarakat  pendukungnya  di  kawasan Tengger  pada  khususnya,  dan masyarakat umum yang menganggap upacara tersebut mempunyai makna atau keunikan bagi dirinya.
Perwujudan upacara tradisi tersebut direncanakan dan diatur segala sesuatunya lebih dahulu yang tidak hanya memecahkan masalah manusia saja tetapi juga memmpunyai nilai-nilai yang membangun suatu peradaban. Dengan demikian selalu mengalami perubahan sejalan dengan roda peradaban itu sendiri, serta mempunyai arti penting dalam kebudayaan manusia yang memberi nilai tertentu sepanjang perjalanan sejarah manusia.  
 Nilai  budaya  yang  dapat  dipetik  untuk  diteladani yang diwariskan oleh nenek moyang melalui upacara tradisional Kasada antara lain adalah sebagai berikut :
1. Sebagai Penghormatan terhadap Leluhur
 Upacara tradisional Kasada merupakan sarana ucapan rasa syukur dari masyarakat kawasan gunung Bromo kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan perlindungannya karena keberhasilannya, tidak hanya menjadikan masyarakat  meningkatkan sektor pertanian, juga perdagangan, kerajinan dan kesejahteraan hidup mereka. Pada perkembangan selanjutnya upacara ini dikaitkan dengan cikal bakal atau sesepuh desa sebagai pepunden-nya dalam memimpin seluruh kegiatan terkait dengan pelaksanaan upacara tradisional, serta penghormatan terhadap perjuangan nenek moyang (cikal bakal) masyarakat Tengger yang telah membangun dan memberikan perlindungan terhadap hidup mereka. 
2. Sebagai Kepatuhan
Dalam upacara radisional Kasada, faktor kepatuhan nampak pada masyarakat pendukungnya secara patuh melaksanakan upacara tersebut yang pada hakekatnya merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tidak mau melanggar pelaksanaan upacara ini seperti misalnya mengganti hari pelaksanaan atau bahkan meniadakan upacara itu sendiri. Faktor kepatuhan juga nampak pada persiapan pembuatan sesaji upacara. Mereka secara teliti mempersiapkan macam-macam sesaji dengan lengkap, karena kalau salah satu sesaji ada yang kurang lengkap, maka mereka mempunyai kepercayaan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dengan adanya faktor kepatuhan seperti tersebut di  atas secara tidak langsung masyarakat pendukung upacara ini telah mempunyai kesadaran akan arti dari kepatuhan terhadap lingkungannya. Hal ini apabila direfleksikan apa yang telah diperbuat oleh masyarakat pendukung upacara tersebut, bisa  dikatakan sebagai suatu  pelajaran bagi masyarakat untuk belajar mematuhi segala aturan yang ada di lingkungannya.
3. Sebagai Unsur Kebersamaan dan Kerukunan  
Sejak persiapan upacara sampai dengan akhir upacara banyak melibatkan masyarakat di lingkungannya. Keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan upacara, menunjukkan bahwa di antara mereka terjalin hubungan saling membutuhkan  untuk bisa bersama-sama melaksanakan upacara. Hal ini nampak pada saat pengumpulan bahan-bahan sesaji, pembuatan kerangka bambu untuk pembuatan  ongkek, serta pembersihan tempat di rumah Carik. Hal ini menunjukkan adanya kebersamaan dan kerukunan di antara masyarakat, karena di samping mereka membuat sesaji secara perorangan juga membuat sesaji desa yang berfungsi sebagai unsur utama.
4. Sebagai Aset Wisata
Upacara tradisional Kasada banyak mendapat perhatian dari masyarakat luas, Hal ini terbukti dengan banyaknya pengunjung yang datang ingin menyaksikan upacara tersebut, tidak hanya seluruh masyarakat setempat melainkan mereka yang bukan pemeluk agama Hindu pun hadir. Pengunjung selain mengikuti upacara mereka datang untuk menyaksikan keindahan alam pada saat malam purnama maupun pagi hari saat matahari terbit di ufuk timur. Banyaknya pengunjung yang datang untuk menghadiri atau menyaksikan upacara tradisional tersebut secara tidak langsung merupakan wisatawan domestik maupun mancanegara. Kondisi demikian akan menambahan penghasilan bagi masyarakat setempat karena di antara mereka terjadi transaksi jual beli barang-barang dagangannya. Dengan demikian upacara tradisional Kasada yang dilaksanakan di kawasan gunung Bromo secara tidak langsung merupakan salah satu aset wisata budaya bagi pemerintah maupun masyarakat di kawasan Tengger.[8]


KESIMPULAN
Menurut ceritera, asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta brahma bernama Joko Seger. Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger yang Budiman”. Nama tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger.
Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak Gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar dikaruniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menxanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orangtua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api. kemudian peristiwa tersebut selalu diperingati oleh suku tengger yang dilaksanakan setiap pada malam 14 bulan kasada.
Disamping sebagai kegiatan ritual saja namun memiliki makna tersendiri bagi masyarakat suku Tengger dan Kabupaten Probolinggo diantaranya:
1.      Sebagai Penghormatan terhadap Leluhur
2.      Sebagai Kepatuhan
3.      Sebagai Unsur Kebersamaan dan Kerukunan  
4.      Sebagai Aset Wisata




DAFTAR PUSTAKA

Kasada, Gunung Bromo dalam Selimut Budaya diunduh dari http://travel.detik.com/read/2012/03/14/151917/1867214/1025/upacara-kasaad-gunung-bromo-dalam-selimut-budaya pada tanggal 28 Maret 2012.









[8]Tjitjik Sriwardhani. Op cit. hlm. 6-8

Sabtu, 19 Mei 2012

Kebijakan AS Yang Memberikan Keuntungan Bagi Jepang Pasca Perang Dunia II


Tiga puluh tahun yang lalu industri Barat terkejut, kagum bahkan terpesona melihat kenyataan kemajuan Jepang yang dengan cepat berhasil melakukan penetrasi ke pasar dunia, padahal terjadi resensi dan krisis energi bahkan menjelang abad ke-20. Hal ini disebabkan berkaitan dengan kemajuan informasi, komunikasi dan transportasi.                
                 Pada tahun 1970-an Jepang memperoleh julukan yang tida begitu mengenakan yaitu “Economic Animal” karena resesi yang cukup panjang serta kesalahan atas estimimasi dalam penentuan arah perkembangan di berbagai sektor industri, nampak sedang menyusun kembali kekuatan dengan menempuh pola baru dalam struktur organisasi perusahaannya yang tidak terlepas dari nilai-nilai kebudayaannya disebut dengan istilah “Economic Buble” sekitar tahun 1988-1992.
           Apabila melihat dari perhitungan Barat tentulah sangat tidak mungkin dengan relitas jepang sesungguhnya yang dapat berkembang dengan pesat pada kurun waktu tersebut. Hal ini disebabkan karena para analis hanya menitikberakan kepada masalah ekonomi saja, yang berujung tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan, khususnya analis terhadap perkembangan industri dan perdagangan internasionalnya.
                  Berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, telah merubah secara drastis wajah ekonomi industry Jepang. Meskipun telah hancur AS memilik dendam yang mendalam sehingga yang diinginkan bukan kehancuran Jepang dalam bidang militer, politik dan ekonomi saja, tetapi lebih jauh juga menginginkan hancur leburnya pranata-pranta social, budaya dan agama serta tradisi-tradisi yang telah dianut selama ribuan tahun silam. Sebetulnya sekutu telah melakukan suatu tindakan dengan harapan dapat menghapus militerisme Jepang, bahkan lebih jauh militeris yang didukung oleh mesin perang produsi zaibatsu (konglomerasi Pra-PD II), fantisme agam Shintoo yang mengilhami kedaulatan Kaisar Jepang dan mitos kaisar sebagai penjelmaan Amaterasu Ohmikami, harus juga disapu bersih dari muka bumi Jepang. Termasuk juga apa yang dikenal dengan konsep patrilineal, primogenitural, ascentor worship phliosopy dan warm-hearted yang semuanya melekat di dalam struktur masyarakat Jepang dan yang berfungsi untuk mempertahankan keutuhan dan kelangsungan keluarga, harus direformasi. Untuk itu konstitusi Jepang yang diberlakukan pada tanggal 3 Mei 1947 serta yang “dipaksakan” oleh sekutu melalui The Supreme Commander of the Allied Power (SCAP) memuat hal-hal atau pasal-pasal yang telah mengantisipasi kemungkinan terulangnya kembali perang Asia Timur Raya dan yang pasti adalah membubarkan zaibatsu.
            SCAP dibawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, dengan sangat  cepat melakukan demiliterisasi dan bahkan mengupayakan terlaksananya demokratisasi di Jepang secepat mungkin, langkah berikutnya diciptakan langkah deklarasi tentang “Initial Post Surrender Policy For Japan” pada tanggal 29 Agustus 1945, yang intinya adalah kebijaksanaan untuk melakukan liquidasi dimulai pada bulan September 1945  dengn tujuan utamanya adalah melikuidasi “Holding Company” dari lima buah zaibatsu yaitu Mitsui Honsha, Mitshubisi Honsha, Sumitomo Honsha, Yasuda Hozensha dan Fuji Sangyoo. Giliran berikutnya lebih dari 30 Holding Company Liquidation Commission (HCLC) yang dibentuk oleh sekutu. Kemudian lebih drastis lagi adalah kekayaan darri sekitar 50 orang yang terlibat keluarga zaibatsu dibekukan bahkan harus menyerahkan saham-sahamnya kepada HCLC. Baru pada tanggal 3 Mei 1947 dibubarkan zaibatsu.
            Meskipun konstitusi baru Jepang telah dibentuk ternyata langkan yang telah dilakukan oleh MacArthur ini tidak berhasil karena terjadinya reinkarnasi raksasa zaibatsu menjadi raksasa yang termodifikasi yaitu Keiratsu. Tepat sekali kiranya sebuah buku yang ditulis oleh Jhon Gunter pada tahun 1974 dengan judul “The Riddle of MacActhur”.
            Pertumbuhan keiretsu yang begitu cepat serta mengagumkan bukanlah karen faktor-faktor internal Jepang semata. Namun lebih disebabkan kesalahan-kesalan kebijakan sekutu yang diuat dan dilaksanakan SCAP yaitu:
            Pertama, konstitusi baru Jepang yang dipaksakan oleh sekutu bukanlah merupakan jaminan mutlak untuk memperoleh ketaatan dari setiap orang Jepang karena hal ini memuat perubahan-perubahan dalam hal-hal yang menyangkut atau bersifat mitos dan kebudayaan Jepang yang telah dianut selama ribuan tahun.
            Kedua, konstitusi baru yang melarang pembangunan kekuatan militernya yang khususnya bertujuan untuk mencegah timbulnya militerisme Jepang yang belikostik, justru konsekuensinya, AS terpaksa harus melindungi Jepang dengan kebijaksanaan payung nuklir untuk menghadapi kemungkinan bahaya komunis, sehingga dapat menghemat anggaran Jepang kemudian dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan industry.
            Ketiga, SCAP di dalam kebijakannya tidak pernah menghancurkan atau bahkan meelikuidasi seluruh lembaga keuangan bank yang tergabung dalam zaibatsu. Padahal sekutu terutama AS telah mengembargo peminjaman uang kepada Jepang namun AS lupa bahwa dengan kebijaksanaan tersebut berarti membiarkan para manajer professional dan para karyawan lingkungan bank tetap utuh dan masih berfungsi.
            Keempat, krisis di Semenanjung Korea antara tahun 1951-1953 yang akhirnya berkembang menjadi perang terbuka antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang kapitalis, memaksa AS atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut campur tangan terjun ke medan perang Korea dengan mengerahkan kekuatan militernya baik dari angkatan darat, laut maupun udaranya secara besar-besaran dimana harus membutuhkan logistik yang besar akhirnya AS terpaksa menggunakan jasa baik Jepang karena jepang dianggap pantas menerima tugas pengadaan dan memasok logistik tersebut.
            Akibatnya, akumulasi kesalahan-kesalahan kebijakan AS inilah yang justru mempunyai andil besar dalam mempercepat proses reinkarnasi dari raksasa zaibatsu dan muncul raksasa baru yang dikenal dengan keiretsu serta memiliki pola dasar, struktur dan mekanisme kerja yang mirip meskipun tidak serupa.

( Tugas Mata Kuliah Sejarah Asia Baru, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember)

PEMBERONTAKAN MENAKJINGGO TERHADAP MAJAPAHIT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Jawa.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.[1]
Diantara beberapa raja dari kerajaan Blamabangan yaitu Menakjinggo, ada beberapa versi yang menjelaskan tentang Minkajinggo atau kisahnya, namun esensi dari cerita tersebut adalah suatu penyerangan terhadap Majapahit. Dimana keduanya telah menjalin hubungan konflik, namun mencapai puncaknya adalah isu dari hasrat Menakjinggo yang ingin menikahi Putri Majapahit yaitu Kencanawungu.
Namun hal itu menjadi sebelah tangan sehingga membuat Minakjnggo menjadi geram sehingga Menakjinggo berencana unukmenyerang Majapahit, namun hal tersebut sia-sia akhirnya Majapahit mengadakan saimbara bagi siapa saja yang dapat mengalahkan Menakjinggo akan diberi hadiah yaitu menikah dengan Kencanawungu. Singkat cerita Menakjinggo dapat terkalahkan oleh Damarwulan yang mana adalah salah satu peserta dari saimbara tersebut.
Minakjinggo disinyalir adalah Bhre Wirabumi yang dikisahkan sebagai salah satu peserta  Perang Paregreg.[2]  Apapun dan bagaimanpun cerita atau kisah dari Minakjinggo adalah pahlawan bagi orang Banyuwangi, walaupun dalam kisahna dia memiliki peran sebagai antagonis. Cerita tersebut hanyalah cerita yang diambil dari kisah damarwulan dimana hal tersebut beum bisa dikatakan sebagai acuan dari kisah tersebut.

1.1. Rumusan Masalah
            Pada tulisan ini hanya sedikit masalah yang dijelaskan mengenai Kerajaan atau lebih spesifiknya adalah Menakjinggo, adapun masalah yang membatasi dari tulisan ini adalah:
1.      Asal-usul kerajaan Blambangan?
2.      Bagaimana kisah dari Menakjinggo?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada di Lumajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah Majapahit.[3]

2.2. Letak Istana
Membicarakan letak istana Blambangan tentu tak mudah. Hal ini, pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini berpindah-pindah. Bila kita menetapkan bahwa pus`t pemerintahan pertama kerajaan Blambangan adalah Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita menelusuri jejak-jejak budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum ada temuan yang bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran kita alihkan ke arah yang lebih timur atau tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.
Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih pernah melakukan penggalian di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai rampung. Walau begitu, bukannya tak ada bukti sama sekali mengenai bangunan pada masa Kerajaan Blambangan ini. Warga sekitar Desa Macan Putih masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang diperkirakan bekas bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding ukuran batu bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu bata itu masih belum jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding keraton. Yang bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial Belanda.
Selain di Desa Agung Macan Putih, ada pula Situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, yang dipercaya sebagai bekas reruntuhan bagian kerajaan atau benteng kerajaan yang memiliki panjang sekitar 5 km. Di dalam situs ini terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di antaranya berlubang di tengah. Kesembilan batu yang tengahnya berlubang itu berfungsi sebagai umpak atau penyangga, karena itulah situs ini dinamakan Umpak Songo (Sembilan Penyangga). Ketika ditemukan, situs ini terpendam pada kedalaman 1 – 0,5 m dari permukaan tanah, membentang dari Masjid Pasar Muncar hingga area persawahan Desa Tembokrejo. Diduga, benteng atau istana ini merupakan peninggalan Blambangan pada saat ibukota pindah ke Muncar.
Bangunan lain yang merupakan peninggalan Kerajaan Blambangan pada periode Muncar adalah Siti Hinggil (Setinggil) yang bermakna “Tanah yang Ditinggikan” (siti adalah tanah, hinggil/inggil adalah tinggi). Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Fungsi Siti Hinggil adalah sebagai pos pengawasan VOC untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan, yakni berupa batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing guna mengawasi keadaan di sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil ini dari Situs Umpak Songo cukup ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur.
Ada pula kolam dan sebuah sumur kuno yang ditemukan di sekitar Pura Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang lainnya terdapat di Museum Daerah berupa guci dan asesoris gelang lengan.

2.3. Blambangan dalam Roman Damarwulan-Minakjinggo
Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis Panji berjudul Damarwulan-Minakjinggo. Kisah Minakjinggo anatara nyata atau tidak namun kisah tersebut telah menjadi mitos di kalangan masayrakat Banyuwangi[4]. Tokoh dengan yang diperankan sebagai peran antagonis ini memiliki wajah yang garang. Kisah tersebut mengungkapkan perseteruan antar dua kerajaan, yang satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan yang tak pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni Kerajaan Blambangan[5]. Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis 1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.[6]
Muljana menulis bahwa cerita roman Damarwulan dan Minakjinggo muncul setelah meletusnya Perang Paregreg yang terjadi pada 1406. Perang inilah yang menginspirasi sastrawan Jawa yang membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung sudah berapa kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni sendratari, ketoprak, dan teater.
Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga buah serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis Serat Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak mengetahui pasti fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg. Maka dari itu, cukup beresiko pula bila kita menghubungkan kisah Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa Paregreg. Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad kemudian setelah peristiwa berlangsung.
Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama Minakjinggo[7] ingin mempersunting Ratu Majapahit Kenya Kencanawungu.[8] Ia menaikkan statusnya, dari adipati menjadi raja Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma. Sang Ratu yang tak ingin diperistri oleh Minakjinggo  yang sudah memiliki tiga orang istri yaitu Dewi Juwitawati, Dewi Juwitaningsih dan Dewi Juwitaningrum[9]. Tentunya Ratu Kencanawungu menolak lamaran tersebut secara tegas.
Penolakan teersebut tentunya dianggap sebagi penorengan terhadap Menakjinggo maka Menakjinggo melakukan suatu pemberontakan terhadap kerajaan pusatnya yaitu kerajaan Majapahit. Tentunya hal tersebut membuat sang Ratu meresa risau terhadap pemberontakan yang dilancarkan oleh Menakjinggo. Maka dia meminta bantuan kepada pamannya yang berada di Tuban yaitu Adipati Ranggalawe.
Mengetahui bahwa keponaknnya berada dalam masalah besar, tentu Adipati Ranggalawe tidak hanya berdiam diri kemudian dia menyiapkan pasukaanya untuk melakukan penyerangan. Akhirnya pertemuan muka antara Menakjinggo dengan Ranggalawe di Probolinggo dimana pada waktu itu probolinggo dijadikan tempat peristirahatan Menakjinggo sementaran selama menjalani pemberontakan melwan Majapahit dan menghacurkan pasukan-pasukan yang menghadangnya selam perjalanannya, termasuk Layangseta dan Layangkumitir sempat melakukan penghadangan.
Awalnya Menakjinggo tidak ingin turun tangan untuk menghadapi Ranggalawe namun melihat banyak prajurit dan patihnya yang terbunuh sehingga membuat dia menjadi sangat marah dan akhirnya turun ke medan. Terjadilah pertempuran secara langsung antara Menakjinggo dan Ranggalawe dimana pada duel satu lawan satu menakjinggo mengalami kekalahan hingga akhirnya Menakjinggo menyruh semua pasukannya untuk memanahi Ranggalawe, akhirnya Ranggalawe pun meninggal di tempat.[10]
Berita kematian Adipati Tuban Ranggalawe sampai di Kerajaan Majapahit. Mengetahui hal tersebut tentulah Dewi Kenanawungu tidak hanya berdiam diri, maka dengan kepala dingin dia Sang Ratu mengambil tindakan untuk mengadakan sayembara: barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan diberi hadiah berlimpah. Raja Minakjinggo pun mengobrak-abrik Majapahit dengan Gada Wesi Kuningnya. Sebelum ke Majapahit, pasukan Blambangan menyerang Lumajang; bahkan dikirim pula utusan ke Ternate untuk diminta bantuan oleh Minakjingo. Para prajurit dan pejabat Majapahit banyak yang gugur, termasuk Ranggalawe. Tatkala situasi tak menentu ini, datanglah Damarwulan. Damarwulan adalah putra dari Patih Majapahit bernama Udara. Setelah dewasa ia mengabdi kepada pamannya, Patih Loh Gender di Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput. Putri sang Patih, Dewi Anjasmara, terpikat pada Damarwulan.
Mengetahui bahwa keadaan Kerajaan sangat genting sehingga Dewi Anjasmarapun mengizinkan suaminya untuk pergi melawan Menakjinggo. Kemudian dia meminta kakaknya Layang Seta dan Layang Kumitir untuk mendapinginya selama perjalanan, kemudian ketika dia melakukan penyusupan ke tempat Menakjinggo, ternyata dia tidak ada namun di tempat tersebut ada ketiga istri dari Menakjinggo yang sedang bercengkrama, namun akhirnya penyusupan tersebut diketahui namun karena ketampanan Damarwulan sehingga membuat ketiga wanita tersebut jatuh hati kepadanya, atas rayuan Damarwulan yang menjajikan akan meperistri dengan syarat membantunya dalam mengalahkan Menakjinggo.[11]
Singkat cerita, Damarwulan menghadap Kencanawungu dan diangkat menjadi panglima Majapahit. Ratu Majapahit Menyuruh Damarwulan dan Setrokumitir memerangi Minakjinggo. Orang Blambangan sudah terkalahkan oleh Damarwulan namun Minakjinggo tetap tidak terkalahkan. Akhirnya Damarwulan berhasil mencuri wesikunig bersama istri dari minakjinggo itu sendiri yang telah memberitahukan rahasia dari kekebalan Minakjinggo. Maka dengan wesikuning tadi Damarwulan dapat membunuh Minakjinggo.[12] Kemudian memenggal kepalanya sebagai bukti kepada Ratu kencanawungu.
Damarwulan membawa kepala Minakjinggo ke Majapahit. Namun, di tengah jalan ia dikhianati oleh dua orang anak Loh Gender, yakni Layang Seta dan Layang Kumitir, yang mengaku sebagai utusan Ratu Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo diserahkan oleh Damarwulan. Layang Seto dan Layang Kumitir pun dianggap pahlawan oleh ratu dan rakyat Majapahit. Namun, akhirnya kedok mereka berdua terkuak[13], Damarwulan pun menikah dengan Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Mertawijaya.
Raffles menulis bahwa pada abad ke-19 cerita Damarwulan-Minakjingo merupakan cerita favorit orang Jawa dan kerap dipentaskan dalam bentuk wayang klitik (wayang dari kayu dengan tinggi 10 inci) dan wayang beber (sosok wayang digambar pada lembaran kertas yang keras di mana dalang memberikan dialog).
Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu Kencanawungu merupakan perwujudan sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo adalah Bhre Wirabhumi. Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang bertolak belakang dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe sebagai Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat tersebut sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang (Majapahit, yang diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah memperolok pihak yang kalah, yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok Minakjinggo. Karena dalam seni Banyuwangi dan Janger, sosok Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan dan ia memberontak karena Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk dinikahi oleh Minakjinggo.
Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk mengukuhkan pengetahuan masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam (juga Pajang dan Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan begitu mereka merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka. Sang Ratu mengambil tindakan untuk mengadakan sayembara: barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan diberi hadiah berlimpah dan menjadi suaminya. Dan hal itu dapat dijawab oleh Damarwulan.



                                                                                                                                   
BAB III
KESIMPULAN

Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.
            Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama Minakjinggo ingin mempersunting Ratu Majapahit Kenya Kencanawungu. Ia menaikkan statusnya, dari adipati menjadi raja Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma. Sang Ratu yang tak ingin diperistri oleh Minakjinggo  yang sudah memiliki tiga orang istri yaitu Dewi Juwitawati, Dewi Juwitaningsih dan Dewi Juwitaningrum. Tentunya Ratu Kencanawungu menolak lamaran tersebut secara tegas.



DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/ wiki/Kerajaan_Blambangan diunduh pada tanggal 4 April 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit diunduh pada tahnggal 4 april 2012.
Kerajaan Blambangan diunduh dari http://Kerajaan%20Blambangan %20%20%20 Permata%20Bangsa.htm pada tanggal 28 Maret 2011.
Melawan Mitos Minak Jinggo. Diunduh dari http://hasansentot2008. blogdetik.com/ 2011/03/14/melawan-mitos-menak-jinggo/ pada tanggal 4 April 2012.
R. Rangga Prawiradirja(terj). Serat Damarwulan.  Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982.
S.Z. Hadisutjipto(terj). Langendariya Ranggalawe. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982.
Sejarah Banyuwangi- Blambangan. Diunduh dari  http://livebeta.kaskus.us/ thread/ 00000000000000 0001146576/ share-sejarah-amp-budaya-banyuwangi---blambangan pada tanggal 4 April 2012.
Sejarah Kerajaan Blambangan diunduh dari file:///E:/SEJARAH%20 KERAJAAN%20 BLAMBANGAN% 20%C2% AB%20O singkertarajasa.htm pada tanggal 28 Maret 2012.
Soemarsono(terj). Langen Driya: Penjahipun Menak Jingga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982.
Winarsih Partaningrat Arifin. Babad Blambangan. Yayasan Bentang. 1995.



[1] Sejarah Banyuwangi- Blambangan. Diunduh dari  http://livebeta.kaskus.us/thread/ 00000000000000 0001146576/ share-sejarah-amp-budaya-banyuwangi---blambangan pada tanggal 4 April 2012.
[2] Perang paregreg disinyalir adalah sebagai perang saudara antara Bhre Wirabhumi dengan saudaranya Wikrawardhana yang erujung kekelahan di pihak Bhre Wirabhumi, dan juga secara perlahan memberikan pengaruh terhadap runtuhnya kerajaan Majapahit.
[3] Sejarah Kerajaan Blambangan diunduh dari file:///E:/SEJARAH%20KERAJAAN%20 BLAMBANGAN%20%C2% AB%20Osingkertarajasa.htm pada tanggal 28 Maret 2012.
[4] Melawan Mitos Minak Jinggo. Diunduh dari http://hasansentot2008.blogdetik.com/ 2011/03/14/melawan-mitos-menak-jinggo/ pada tanggal 4 April 2012.
[5] Dikatakan bahawa Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan Hindu terakhir yang berada di pulau jawa. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Blambangan diunduh pada tanggal 4 April 2012.
[6] Kerajaan Blambangan diunduh dari http://Kerajaan%20Blambangan%20%20%20 Permata%20Bangsa.htm pada tanggal 28 Maret 2011.
[7] Minakjinggo yang disinyalir adalah Bhre Wirabhumi merupakan salah satu penguasa dari kebijakan pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Blambangan. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit diunduh pada tahnggal 4 april 2012.
[8] Dewi Kencanawungu merupakan Raja dari kerajaan Majapahit yang menggantikan ayahnya Prabu Brawijaya I. lihat R. Rangga Prawiradirja(terj). Serat Damarwulan. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982) hlm. 7.
[9] Soemarsono(terj). Langen Driya: Penjahipun Menak Jingga. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982) hlm. 12.
[10]  S.Z. Hadisutjipto(terj). Langendariya Ranggalawe. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982) hlm. 13-16.
[11] Soemarsono(terj). Op cit. 13-14.
[12]  Winarsih Partaningrat Arifin. Babad Blambangan. (Yayasan Bentang, 1995) hlm. 276.
[13] Sejarah Kerajaan Blambangan. Loc cit.