Pages

Subscribe:

Jumat, 31 Mei 2013

USAHA PENGAMBILAN HAK ULAYAT OLEH MASYARAKAT BADUY

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suku Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih memegang tradisi dan adat yang sangat kuat Dalam hal politik dan sosial, masyarakat Baduy juga masih memberlakukan sistem pemerintahan lama yang berbasis tradisional.
Suku Baduy yang tinggal di daerah hutan konservasi ini mulai resah ketika undang-undang mengenai kepemilikan hutan lindung yang dimiliki oleh pemerintah, sehingga penduduk siapapun dilarang untuk mengambil apapun yang berasal dari hutan tersebut, tentu hal ini mendapatkan protes yang serius pasalnya bahwa nenek moyang mereka telah tinggal di daerah tersebut jauh berpuluh-puluh tahun dibandingkan dengan dengan lahirnya peraturan tersebut.
Berbagai usahapun dilakukan agar hak ulayat mereka dapat dipertahankan, terlebih bahwa keingina pemerintah daerah dan swasta yang menginginkan daerah tersebut menjadi objek pariwisata yang tentu hanya untuk kepentingan komerseial dengan menjual kebudayaan mereka. Usaha mereka dinilai berhasil sehingga mereka dapat mempertahankan tanah nenek moyang mereka dari usaha penghilangan hak dari pemerintah pusat pada masa Orde Baru.

1.2. Rumusan Maslah
1.      Seperti apakah suku baduy yang dimaksud?
2.      Langkah apa yang dilakukan untuk mendapatkan kembali hak mereka?

1.3. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui tentang suku baduy.
2.      Untuk mengetahui bagaimana proses orang-orang Baduy dalam menuntut hak mereka.


3.       
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Suku Baduy
            Suku Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih memegang tradisi dan adat yang sangat kuat, masyarakat tersebut lebih senang menyebut dirinya sebagai urang Kanekes yang berarti orang Kenekes. Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari suku tersebut adalah ketidakinginan dari masyaraktnya untuk tidak mencampuri urusan orang selain dari suku mereka. Mereka beranggapan bahwa segala hal yang berada di luar masyarakat Kanekes  lebih bersifat duniawi daripada urusan akhirat sehingga nilai-nili primordial yang ditanamkan di daerah semenjak kecil dianggap terganggu oelh masyarakat modern. Dalam hal politik dan sosial, masyarakat Baduy juga masih memberlakukan sistem pemerintahan lama yang berbasis tradisional.[1]
            Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu sungai CiBaduy. Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya.Baduy luar atau biasanya mereka menyebutnya Urang Panamping. Cirinya, selalu berpakaian hitam.
Umumnya orang Baduy luar sudah mengenal kebudayaan luar (diluar dari kebudayaan Baduy-nya sendiri) seperti bersekolah sehingga bisa membaca danmenulis, bisa berbahasa Indonesia. Mata pencaharian mereka bertani.Gula aren adalah hasil dari mereka. Didaerah sana memang banyak terdapat pohon aren.
Sedangkan suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Selain itu tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam.
Orang Baduy dalam terkenal teguh dalam tradisinya. Mereka selalu berpakaian warna putih dengan kain ikat kepala serta golok. Semua perlengkapan ini mereka buat sendiri dengan tangan. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang, jadi mereka tidak pernah menggunakan kendaraan
Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Jembatan ini dibuat tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. [2]

2.1. Usaha Orang-Orang Baduy Untuk Mengambil Hak Mereka
            Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Dalam Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya.
Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (BARAKA).Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bumi :Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah tanah.

2.Air :Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun yang terdapat di laut.

3. Ruang Angkasa :Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia.
4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi di sebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral, biji-biji dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan).
Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti luas.[3]
            Indonesia yang beragam sehingga berimplikasi terhadap aspek-aspek lain di luar kebudayaan, termasuk aspek yang abstrak yang berkembang di masyarakat. Termasuk segi hukum ataupun norma-norma yang berlaku di masyarakat adat. Plural yang memiliki arti beragam atau bermacam-macam, maksud dari prulalisme hukum adalah fakta keragaman itu diterima sepanjang diakui oleh negara.[4]
            Istilah hukum adat menunjuk kepada tatanan pemerintah adat yang harus diakui dan dihormati oleh negara, berdasarkan apa yang dinamakan “hak asal-usul”. Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen memberikan perlindungan luas dan langsung terhadap hak masyarakat hukum adat.[5]
            Konsep hukum adat, ulayat adalah wilayah pengelolalaan yang berada dalam penguasaan bersama suatu masyarakat hukum adat yang memiliki kedaulatan dalam menentukan pengelolalaannya. Penguasaan masyarkat hukum adat diimplementasikan oleh wakil-wakil mereka. Di dalam hukum ulayat terkandung seluruh kekayaan alam, mulai dari permukaan tanah, dasar bumi sampai ke udara yang terdiri dari benda-benda mati.[6]
Gaya hidup mereka yang unik menjadi sasaran obejek komersial industri pariwisata yang prospektif, baik untuk sasaran domestik ataupun internasional, walaupun hal ini cukup merisaukan bagi mereka terutama mengenai pudarnya pandangan mereka yang tidak ingin mengenal teknologi dengan berinteraksi dengan orang-orang dari luar mereka. Namun pada kenyataannya mereka merupakan aset besar bagi sumber pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Beberapa Pengusaha lokal.[7]
Berkaitan dengan subtansi hukum, ketidakjelasan definisi dan peran lembaga pelaksana merupakan hal yang kritikal. Meskipun UUD 1945 mengakui keberadaan masyrakat hukum adat. Orang baduy Dalam ataupun orang Baduy Luar hidup dalam wilayah tradisional mereka, mengelola wilayah mereka berdasarkan kebiasaan (adat), dan mempraktikkan suatu sistem pemerintahan unik yang membedakan mereka dengan desa-desa lain di Banten.
Permasalahan pelanggaran terhadap batas-batas tanah dan hutan adat mereka, orang-orang Baduy memohon pengakuan dan perlindungan dari pemerintah terhadap hak-hak mereka. Pada tahun 1968 Gubernur Jawa Barat mengeluarkan keputusan No. 2003/B-V/Pem/SK/68 yang menetapkan hutan Baduy sebagai hutan lindung. Pada bulan agustus 1990, DPRD Kabupaten menyetujui Peraturan Daerah yang memberikan pengakuan terhadap lembaga-lemabaga adat masyrakat Baduy, namun hal tersebut tidak mampu membendung keinginan mereka.
Ketika orang-orang Baduy melobi pemerintah daerah melalu beberapa LSM ataupun lembaga lainnya hingga dianggap usahanya mulai menuai keberhasilan dengan terlaksananya kunjungan Presiden Abdurahman Wahid ke Desa Kanekes pada tahun 2000 guna menunjukan kepedulian dan penghormatannya terhadap masyarakat hukum adat Baduy, peran mereka di dalam pelestarian lingkungan. Keberhasilan mereka dipicu oleh kenyataan bahwa Menteri Witoelar adalah salah satu tokoh LSM lingkungan Hidup yang disegani. Sementara Gus Dur merupakan salah satu kampiun yang terkenal bahkan di kalangan internasional dalam memajukan diaolog kerukunan antar agama dalam masyarakat majemuk-budaya termasuk penghormatannya terhadap agama-agama lain dan kepercayaan tradisional.
Kunjungannya dipersepsikan sebagai suatu tekanan politik kepada Bupati Lebak agar secara konkrit menunjukan penghoramtan kepada masyarakat Baduy. Kunjungan ini dimanfaatkan oleh WAMMBY untuk mengingatkan Bupati agar memanfaatkan ruang lingkup baru otonomi daerah dengan mengeluarkan peraturan yang memberi perlindungan hukum kepada masyarakat Baduy, termasuk wilayah teritorial mereka dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
setelah melalui sejumlah proses perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal 13 Agustus 2001 DPRD Kabupaten menyetujui  Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam jenisnya di Indonesia.




BAB III. KESIMPULAN
Suku Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih memegang tradisi dan adat yang sangat kuat, masyarakat tersebut lebih senang menyebut dirinya sebagai urang Kanekes yang berarti orang Kenekes. Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari suku tersebut adalah ketidakinginan dari masyaraktnya untuk tidak mencampuri urusan orang selain dari suku mereka.
            Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu sungai CiBaduy. Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. Baduy luar atau biasanya mereka menyebutnya Urang Panamping. Cirinya, selalu berpakaian hitam. Sedangkan suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Selain itu tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam
Permasalahan pelanggaran terhadap batas-batas tanah dan hutan adat mereka, orang-orang Baduy memohon pengakuan dan perlindungan dari pemerintah terhadap hak-hak mereka.. Keberhasilan mereka dipicu oleh kenyataan bahwa Menteri Witoelar dan Gus Dur. Kunjungannya dipersepsikan sebagai suatu tekanan politik kepada Bupati Lebak agar secara konkrit menunjukan penghoramtan kepada masyarakat Baduy.
Setelah melalui sejumlah proses perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal 13 Agustus 2001 DPRD Kabupaten menyetujui  Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam jenisnya di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
Andiko, “Upaya Tiada Henti Mempromosikan Pluralisme Dalam Hukum Agraria DI Indonesia” dalamMyrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di Indonesia, Jakarta: Epistema Institute, 2011.
Anne Ahira, Beragam Makalah Untuk Suku Baduy diunduh dari http://www.anneahira. com/makalah-suku-Baduy.htm pada tanggal 12 Januari 2013.
Bersama Suku Baduy diunduh dari http://members.tripod.com/~stbenny/ perjalanan/Baduy/suku_Baduy.htm pada tanggal 12 Jnuanuari 2013.
Myrna A.S., “Bersikap Kritis Terhadap Pluralisme Hukum”dalam Myrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di Indonesia,Jakarta: Epistema Institute, 2011.
Pengertian Agraria Dan Hukum Agraris, diunduh dari http://coemix92. wordpress.com/2011/05/23/pengertian-agraria-dan-hukum-agraris/ pada tanggal 3 Januari 2013.
Sandra Moniaga, “Antara Hukum Negara Dan Realitas Sosial Politik Di Tataran Kabupaten: Perjuangan Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat Di Pedesaan Banten”  dalam Myrna A. Safitri Dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia Jakarta: HuMA, 2010.


[1] Anne Ahira, Beragam Makalah Untuk Suku Baduydiunduh dari http://www.anneahira. com/makalah-suku-Baduy.htm pada tanggal 12 JAnuari 2013.
[2]Bersama Suku Baduy diunduh dari http://members.tripod.com/~stbenny/ perjalanan/Baduy/suku_Baduy.htm pada tanggal 12 Jnuanuari 2013.
[3]Pengertian Agraria Dan Hukum Agraris, diunduh dari http://coemix92. wordpress.com/2011/05/23/pengertian-agraria-dan-hukum-agraris/ pada tanggal 3 Januari 2013.
[4] Myrna A.S., “Bersikap Kritis Terhadap Pluralisme Hukum”dalam dalam Myrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di Indonesia (Jakarta: Epistema Institute, 2011), hal. 7.
[5] Sandra Moniaga, “Antara Hukum Negara Dan Realitas Sosial Politik Di Tataran Kabupaten: Perjuangan Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat Di Pedesaan Banten”  dalam Myrna A. Safitri Dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia, hal. 147.
[6] Andiko, “Upaya Tiada Henti Mempromosikan Pluralisme Dalam Hukum Agraria DI Indonesia” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (penyunting), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia (Jakarta: HuMA, 2010), hal. 67-68.
[7] Sandra Moniaga, Loc Cit. Hal. 162.

Sabtu, 25 Mei 2013

TONG KOSONG NYARING BUNYINYA, BOTOL KOSONG BUKAN TAK ADA HARGANYA (UNEJ DAN BOTOL KOSONG)



TONG KOSONG NYARING BUNYINYA, BOTOL KOSONG BUKAN TAK ADA HARGANYA.
(UNEJ DAN BOTOL KOSONG)

         
Sebuah kisah botol-botol kosong yang biasa berserakan di sekitar lingkungan Universitas Jember, seakan-akan terihat tidak berharga bagi si pemiliknya dan kemudian dimanfaatkan oleh para pemulung untuk dijadikan penunjang kehidupan ekonomi si pemulung.
botol kosong
foto ini diambil dari google
          Sebuah universitas besar yang berada di daerah eks-karesidenan Besuki ini memiliki kisah manis dengan para botol-botol kosong. Sebelum dikenal sebagai nama besar  Universitas Jember dengan bangunan-bangunan megah bertingkat-tingkat berdiri di areal jalan Kalimantan 37 Tegal Boto. Universitas Tawang Alun (UNITA) adalah nama bayi Universitas tersebut sebelum berevolusi menjadi Universitas Jember (UNEJ) pada tahun 1982.
          Kehadiran Universitas Tawang Alun diyakini memberikan dampak positif bagi masyarakat Jember khususnya dalam bidang pendidikan, dengan harapan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, sehingga mendapatkan sambutan baik dari masyarakat bahkan dari orang nomor satu di Jember pada saat itu yaitu Bupati R. Soedjarwo (1957).
Pemerintah daerahpun memberikan bantuan berupa bangunan infrastruktur (sekarang menjadi Gedung 1 dari Fakultas Keguruan dan Pendidikan yang beralamatkan di Jalan Mochammad Sroedji no 120) yang dijadikan  sebagai penunjang kegiatan belajar dan mengajar universitas. Pada tanggal 26 Januari 1959 Bupati Soedjarwo diangkat menjadi kepala Jajasan Universitas Tawang Alun.
bupati Soedjarwo
foto ini diambil dari kaleidoscope UNEJ
Ada kebijakan unik dan hebat untuk menunjang keberlangsungan universitas dari sisi infrastruktur. Keinginan sang bupati untuk memperbaiki sarana dan prasarana dengan cara menghimpun botol-botol kosong bekas yang berasal dari masyarakat kemudian dihimpun oleh para camat yang ada di Kabupaten Jember, selain dari botol-botol kelapa-kelapa yang kemudian kesemuanya dijual untuk dijadikan rupiah.
Diantara beberapa bangunan tersebut yang fenomenal adalah pembuatan Jembatan Mas Trip yang menghubungkan kampus Tegal Boto dengan jalan P.B. Soedirman (dulu jalan Mochammad Sroedji). Pada waktu itu untuk menghubungkan antara Tegal Boto dan jalan Mochammad Sroedji hanya ada satu jembatan yaitu melalui Gladak Kembar, bagi mahasiswa Unita yang tinggal di Tegal Boto harus menyebrang sungai Bedadung jika kondisi air bersahabat atau harus lewat Gladak Kembar dengan konsekuensi jaraknya akan lebih jauh, karena semua kegiatan kuliah berada di jalan Mochammad Sroedji. Walaupun mengalami penundaan pembangunan akhirnya Jembatan tersebut terbentuk, tentu ini memberikan kemudahan dalam hal akses menuju universitas.
universitas jember
Gedung R. Soedjarwo
          Rasa bangga R. Soedjarwo yang merupakan orang kasta nomor satu di Jember mau mengurusi masalah sampah-sampah botol untuk kepentingan masyarakat Jember dalang jangka waktu yang panjang, dengan kata lain menunjukkan bahwa Universitas Tawang Alun disambut positif oleh masyarakat dengan cara meyumbangkan botol-botol kosong mereka untuk pebangungan universitas tersebut. Atas jasa-jasa beliau nama R. Soedjarwo diabadikan menjadi nama salah satu gedung yang ada di Universitas Jember dan dikenal sebagai Bupati Botol Kosong.

Sabtu, 18 Mei 2013

AROMAMU TERKENANG DI TUBUHKU




Pada Agustus 2004 tepatnya tanggal berapa saya lupa orang tuaku merenovasi rumah kecil yang sangat sederhana karena material uang ataupun bahan-bahan bangunan dapat dikatakan pas-pasan. Untuk meminimalisir pengeluaran dana semua pasukan anak-anaknya dikerahkan untuk membangun istanaku. Kami yang terdiri dengan 4 bersaudara pada waktu itu dan aku adalah anak pertama, kebetulan juga ayahku berprofesi tukang bangunan sehingga dirasa mampu membangun rumah tersebut tanpa membayar orang lain.
Bekerja dari pagi hingga sore ternyata sungguh melelahkan, maka dengan sendirinya keringat ini bercucuran. Bergegas saja aku mengambil posisi untuk menyantap masakan dari ibuku tercinta bersama keluarga, baru mengambil posisi duduk secara tiba-tiba serangan komentar datang bertubi-tubi dari keluargaku.
“Yan keringet lu baunya kayak baba Napi” kata ibuku.
“Iya bener, ih bau bangat” sahut dari adik-adikku.
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Pribahasa tersebut yang aku terapkan pada saat itu karena cacing-cacing di perut ini berdemonstrasi agar perut ini segera diisi, selain itu aku tidak merasa bahwa keringatku seperti yang mereka katakan.
Suara azan magrib pun terdengar saling bersahutan, bergegaslah aku mandi kemudian melaksanakan solat di Musola yang bersebelahan dengan rumah. Tiba-tiba aku ngidam gorengan akhirnya setelah solat saya pergi ke warung kopi milik saudara dari almarhum kakekku. Tidak disangka, ternyata bau keringatku tidak hilang walau sudah mandi. Mungkin karena aku mandi tidak pakai sabun dan hanya disiram saja badan ini dengan kurang lebih 5 gayung air. Komentar pun datang lagi dari pemilik warungnya.
“Yan. keringet lu kok bau bangat, baunya mirip bangat sama keringetnya Baba Napi” kata si pemilik warung.
Aku hanya diam sambil tersenyum mendengar komentar darinya, sehabis membeli gorangan istana sederhanaku adalah tujuanku selanjutnya, sambil berjalan aku memikirkan komentar orang-orang mengenai keringatku menurut mereka memiliki kesamaan dengan bau tubuh almarhum kakekku sewaktu hidup. Tapi aku kiranya tidak akan peduli mengenai ungkapan bau dan disamakan dengan almarhum, karena menurutku kakekku adalah orang yang paling baik yang pernah aku temui baik terhadapku, aku lebih dekat dengan almarhum bahkan dibandingkan orang tuaku sendiri, sehingga aku menganggap ini adalah aroma almarhum, walau terkadang merasa tidak nyaman dengan komentar orang lain aku tetap merasa senang masih ada yang bisa mengingatkan aku dengan almarhum.
Almarhum bernama Hanafi meninggal pada tanggal 11 Mei 2004, sehari sebelumnya kami bertengkar sehingga terasa menyesal sekali ketika mengetahui keesokan harinya beliau telah meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Semasa hidupnya almarhum adalah seorang kakek yang penuh semangat bekerja walau usianya sudah diatas 70 tahun, beliau tidak ingin hidupnya berasal dari pemberian karena kasihan dari orang lain dan dia juga terkenal karena kesabarannya di lingkungan tetangga. Orang yang paling dekat dengan beliau adalah aku bahkan bila dibandingkan dengan anak-anaknya, karena hal inilah yang membuat aku merasa bangga dengan aroma tubuhku saat berkeringat yang disamakan dengan beliau.
Hingga saat ini setiap aku menghirup aroma tubuhku aku selalu teringat dengan almarhum, Semoga Engkau diterima segala amal perbuatannya walau sekecil apapun, dihapus segala dosanya sebesar apapun dan ditempat di tempat yang terbaik oleh-Nya…. Aaamiiiiiin.