Sebenarnya ada waktu
dimana hamper seluruh Jawa pernah ditutup oleh berbagai bentuk hutan dengan
tipe yang ditentukan oleh ketinggian, musim, dan jenis tanah. Pengaruh
kehidupan manusia terhadap hutan dan flora yang ada di dalamnya mungkin dimulai
setelah alat-alat pemotong dan api tersedia. Kehilangan sebagian besar hutan
lahan pertama mungkin terjadi setelah kayu jati diperkenalkan pada tahun awal-tahun awal terjalinnya hubungan
dengan kerajaan-kerajaan Hindu (200-400
M). menjelang tahun 1000 M saja sudah ada sekitar 1,5 juta ha hutan jati (yang
sama besarnya dengan kehilangan hutan dataran rendah di atas tanah vulkanik,
alluvial, dan tanah berbatu kapur). Hutan-hutan ini sudah pernah dikelola, dan
sekitar tahun 900 M terdapat jabatan “Tuan Pemburu” yang disebutkan dalam
sebuah naskah Jawa; pejabat “Tuan Pemburu”
ini diyakini pula berkaitan dengan kegiatan-kegiatan kehutanan.
Pada masa candi-candi Hindu-Budha
dibangun di Jawa tengah cukup banyak hutan berharga di datarn alluvial daerah
pantai yang ditebang. Penanaman padi beririgasi telah diperkenalkan lebih dari
seribu tahun yang lalu dan mungkin pelaksanaannya terbatas di lereng-lereng
bagian bawah dari daerah-daerah gunung berapi dan bukit-bukit berbatu kapur.
Sebelum pengawasan dilakukan oleh
Belanda, kayu jati digunakan untuk membuat perahu oleh penduduk asli. Selama
awal penjajahan Belanda, kayu jati dieksploitasi lebih banyak lagi untuk
berbagai keperluan, tetapi tidak dengan cara yang lestari. Hanya sedikit lahan
yang ditanami pohon-pohon jati karena pohon ini tampak sangat melimpah.
Perubahan besar mulai terjadi pada tahun 1830 ketika peraturan pemerintah
Belanda memberlakukan kebijakan tanam
paksa (cultuurstelsel) yang memaksa para petani untuk menanam tanaman
ekspor diantara tanaman pangan yang ditanam di atas tanah milik bersama
(umumnya hutan) dengan system tumpangsari. Kebijakan ini bukannya membuat
penduduk mempunyai cukup cadangan pangan dan surplus barang-barang untuk
diperdagangkan tetapi para penduduk malahan harus menanam tanaman perdagangan
dengan mengorbankan tanaman pangannya untuk memuaskan keinginan orang-orang
yang tinggal jauh (Eropa).
Jumlah penduduk bertambah dengan
cepat dan tanah Jawa segera menjadi penuh dan sesak. Hal ini memaksa petani
untuk mengembangkan bentuk pertanian yang lebih intensif lagi, dan
menyembunyikan perkembangan kapitalis pribumi dan pengusaha kota- suatu proses
yang disebut “Involusi Pertanian”. Produksi nila dan gula membutuhkan cukup
banyak kayu bakar sehingga semakin menghabiskan hutan-hutan campuran maupun
hutan jati. Junghuhn (1854) menemukan bahwa eksploitasi kayu bakar secara berlebihan
serta konversi hutan menjadi kebun kopi merupakan penyebab merupakan penyebab
penggunduluan hutan di dataran tinggi. Dia juga telah melakukan perjalanan mengelilingi
Jawa dan menemukan beberapa gunung benar-benar gundul tidak berhutan mulai dari
kaki gunung sampai ke puncaknya (misalnya, Merbau, Sindoro, dan Sumbing).
Pembakaran hutan-hutan pegunungan di Jawa Timur dilakukan secara teratur untuk
merangsang pertumbuhan padang rumput sebagai tempat berburu. Untuk mengimbangi
gambaran ini, Junghuhn juga menggambarkan hutan hutan dataran rendah dan hutan
pegunungan yang cukup luas yang belum terganggu. Desktiptif kualitatif tentang
bentang lahan Jawa pada abad yang lalu juga memberikan kesan yang sangat jelas
tentang betapa besarnya perubahan yang telah terjadi. Misalnya, dataran tinggi
Pengalengan yang terletak di sebelah selatan Bandung diantara Gunung Malabar ,
Gunung Tilu, dan Gunung Wayang tetap memiliki hutan hingga pertengahan abad
yang lalu, sampai pada saat daerah-daerah yang lebih datar dibuka untuk
perkebunan kopi dan teh.
Pada
tahun 1880 seorang penjelajah melaporkan adanya sekawan besar banteng dan
segerombol anjing liar di lereng selatan Gunung Malabar yang masih berhutan,
dan kebun-kebun kopi yang dilindungi dengan parit-parit dan pagar untuk
menajaga agar tanaman ini bebas dari kerusakan yang ditimbulkan oleh badak .
Pada
tahun 1870, ketika pelaksanaan tanam paksa berakhir dan Belanda mengizinkan
perusahaan-perusahaan swasta baru untuk mengelola perkebunan, lebih dari 300
ribu hektar lahan di Jawa diadikan kebun
kopi. Karena kopi mempunyai pertumbuhan terbaik dalam iklim musiman pada
ketinggian 1.000-1.700 mdpl, maka dataran-dataran tinggi yang masih tersisa di
Jawa Timur dan Jawa Tengah benar-benar sangata merasakan tekanan yang terus menerus
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Meskipun demikian, sekitar tahun
1885 penyakit cendawan daun menyerang dan mulai menghancurkan seluruh kebun
kopi di Jawa, dan selama 50 tahun berikutnya (saat persaingan kopi dengan
Brazil meningkat) tempat-tempat yang ditanami kopi telah berkurang hingga yang
tersisa sekitar 98 ribu hektar, meskipun
pada tahun 1900 didatangkan galur baru yang resisten terhadap penyakit
tersebut. Berkahirnya tanam paksa juga menyebabkan tanah milik bersama yang
dulu ditanami kopi kemudian diubah menjadi tanah pertanian lahan kering. Cara
bertani penduduk dataran tinggi ini, setidak-tidaknya di Jawa Tengah dan Jawa Timur
menyebabkan timbulnya keluhan yang pertama dilontarkan oleh penduduk yang
mendiami dataran rendah, karena menyebabkan berkurangnya air yang mengalir ke
sungai-sungai. Erosi bukan merupakan masalah besar karena populasi manusia
tidak terlalu banyak dan pertanian lahan kering berganti-ganti antara masa
tanam dengan masa bera (lahan tidka ditanami). Setengah dari pulau ini, yaitu
di bagian utara yang terdiri dari dataran pantai alluvial yang banyak diangkiti
malaria, tetap tidak ditanami Karena masalah teknis cara membuat system pengairan
di tanah yang datar. Meskipun demikian, antara tahun 1850-an sampai Perang
Dunia I, semua tanah di daerah sudah menjadi lahan pertanian.
Sebelum
tahun 1850, pembukaan hutan terjadi tanpa adanya petunjuk (atau perhatian) dari
pemerintah. namun setelah 80 tahun berikutnya usaha pengubahan hutan menjadi
lahan pertanian dan perkebunan benar-benar digalakkan. Berkurangnya hutan
menyebabkan binatang-bintang liar berkurang dan beberapa jenis binatang menjadi
“hama” karena menjadi pesaing manusia dalam mencari makanan serta tempat hidup.
Antara tahun 1898 dan 1937 telah teradi kehilangan hutan alam kira-kira 22.000
km2 , dan bagian terbesar dari kayu-kayu hasil tebangan tersebut digunakan
untuk pembangunan jaringan rel kereta api yang sangat panjang. Pengendalian
terhadap pengubahan hutan mulai dilakukan antara tahun 1928 dan 1937, kemudian
setelah ini bersamaan dengan tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi,
kehilangan hutan sudah tida dapat dipulihkan lagi. Tindakan tersebut sebagian
karena keputusan pemerintah yang kokoh disertai usaha-usaha pelaksanaan tersebut
di berbagai daerah, dan sebagian lagi karena keterbatasan akses dan lahan-lahan
hutan yang masih tersisa sangat curam, sehingga tidak cocok untuk pertanian dan
sebagian besar karena ukuran hutan yang masih tersisa sangat kecil. Peramabahan
secara bertahap serta kerusakan yang mencolok terjadi hamper di semua hutan
yang maish tersisa. Banyak kegiatan tradisional yang menyebabkan kehilangan
kualitas dan kuantitas hutan terus berlangsung, namun sekarang ini
intensitasnya bersifat tidak berkelanjutan lagi dan tidka konsisten dengan
kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah.
Pola
kehilangan hutan di Jawa serupa dengan pola kehilangan hutan di Inggris, walau
jangka waktunya mungkin berbeda, dan laju kehilangannya selama 5.000 tahun
terakhir ini, sekitar 80% penutupan hutan asli (kayu-kayu liar) yang tumbuh di
sana telah hilang selama 2.000 tahun yang lalu, dan dalam 700 tahun terakhir
tersisa 10%. Fragmentasi hutan yang sangat parah juga telah terjadi sekitar 83%
dari tempat-tempat yang ditumbuhi hutan kuno (yaitu tempat-tempat yang
ditumbuhi hutan sejak kurang lebih 1.600 tahun) luasnya kurang dari 20 ha dan
hanya 2% hutan yang melebihi luasnya 100 ha. Hal ini menyebabkan keperihatinan
yang lebih besar terhadap Jawa, karena
dampak biologis kehilangan hutan di Jawa yang keragaman hayatinya sangat
tinggi, jauh lebih besar daripada di Inggris. Sayangnya, banyak hutan yang
masih tersisa di Jawa tetap tidak mendapatakan perlindungan yang memadai dan
pengrusakan dan pengrusakan hutan di Jawa yang dilakukan tanpa kendali telah
dilaporkan oleh banyak orang selama 25 tahun terkahir.
Pengumpulan kayu bakar adalah salah
satu faktor penting penyebab kehilangan
hutan di Jawa, dan sudah berlangsung sejak awal abad ini. Untuk menghadapi
masalah ini pemerintah telah memberikan subsidi yang sangat besar untuk harga
minyak tanah, yang diharapkan dapat membantu pemerataan pendapatan dan
konservasi hutan. Sebenarnya memang tindakan ini masuk akal, hanya tidak
mencapai sasaran karena hamper semua rumah tangga menggunakan minyaka tanah
untuk penerangan bukan untuk memasak, karena keluarga yang memiliki kompor
sangat sedikit (15%) selain itu karena suatu anggapan yang membudaya di
masyarakat bahwa memasak dengan menggunakan kayu bakar lebih hemat dibandingkan
dengan menggunakan kompor [Sekarang kebijakan terbaru adalah konversi dari
minyak tanah ke gas].
Sumber:
Whitten, Tony, dkk. Seri Ekologi Indonesia
Jilid II: Ekologi Jawa Dan Bali. Jakarta: PT Prehallindo. 1999.