USAHA
PENGAMBILAN HAK ULAYAT OLEH MASYARAKAT BADUY
1.1. Latar Belakang
Suku
Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa
Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih
memegang tradisi dan adat yang sangat kuat Dalam hal politik dan sosial,
masyarakat Baduy juga masih memberlakukan sistem pemerintahan lama yang
berbasis tradisional.
Suku
Baduy yang tinggal di daerah hutan konservasi ini mulai resah ketika
undang-undang mengenai kepemilikan hutan lindung yang dimiliki oleh pemerintah,
sehingga penduduk siapapun dilarang untuk mengambil apapun yang berasal dari
hutan tersebut, tentu hal ini mendapatkan protes yang serius pasalnya bahwa
nenek moyang mereka telah tinggal di daerah tersebut jauh berpuluh-puluh tahun
dibandingkan dengan dengan lahirnya peraturan tersebut.
Berbagai
usahapun dilakukan agar hak ulayat mereka dapat dipertahankan, terlebih bahwa
keingina pemerintah daerah dan swasta yang menginginkan daerah tersebut menjadi
objek pariwisata yang tentu hanya untuk kepentingan komerseial dengan menjual
kebudayaan mereka. Usaha mereka dinilai berhasil sehingga mereka dapat
mempertahankan tanah nenek moyang mereka dari usaha penghilangan hak dari
pemerintah pusat pada masa Orde Baru.
1.2. Rumusan Maslah
1. Seperti
apakah suku baduy yang dimaksud?
2.
Langkah apa yang
dilakukan untuk mendapatkan kembali hak mereka?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui tentang suku baduy.
2. Untuk
mengetahui bagaimana proses orang-orang Baduy dalam menuntut hak mereka.
3.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Suku Baduy
Suku Baduy adalah suku
yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwindar,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih memegang tradisi dan
adat yang sangat kuat, masyarakat tersebut lebih senang menyebut dirinya
sebagai urang Kanekes yang berarti orang Kenekes. Salah satu hal yang menjadi
ciri khas dari suku tersebut adalah ketidakinginan dari masyaraktnya untuk
tidak mencampuri urusan orang selain dari suku mereka. Mereka beranggapan bahwa
segala hal yang berada di luar masyarakat Kanekes lebih bersifat duniawi daripada urusan
akhirat sehingga nilai-nili primordial yang ditanamkan di daerah semenjak kecil
dianggap terganggu oelh masyarakat modern. Dalam hal politik dan sosial,
masyarakat Baduy juga masih memberlakukan sistem pemerintahan lama yang
berbasis tradisional.[1]
Wilayah
Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil
dari nama sungai yang melewati wilayah itu sungai CiBaduy. Di desa ini tinggal
suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya.Baduy
luar atau biasanya mereka menyebutnya Urang Panamping. Cirinya, selalu
berpakaian hitam.
Umumnya
orang Baduy luar sudah mengenal kebudayaan luar (diluar dari kebudayaan Baduy-nya
sendiri) seperti bersekolah sehingga bisa membaca danmenulis, bisa berbahasa
Indonesia. Mata pencaharian mereka bertani.Gula aren adalah hasil dari mereka.
Didaerah sana memang banyak terdapat pohon aren.
Sedangkan
suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk
kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat
lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Selain itu
tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam.
Orang
Baduy dalam terkenal teguh dalam tradisinya. Mereka selalu berpakaian warna
putih dengan kain ikat kepala serta golok. Semua perlengkapan ini mereka buat
sendiri dengan tangan. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka
juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa
alas dan tidak pernah membawa uang, jadi mereka tidak pernah menggunakan
kendaraan
Mereka
tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di
bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak
mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan
dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Jembatan ini dibuat tanpa
menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan
untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi
sungai. [2]
2.1. Usaha Orang-Orang Baduy
Untuk Mengambil Hak Mereka
Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti
tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah,
Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian
(Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Dalam Undang-undang No. Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI
No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya
memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran,
pasal-pasal maupun penjelasannya.
Ruang lingkup Agraria
menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya (BARAKA).Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan
ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI
No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolahan Sumber Daya
Alam.Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Bumi :Pengertian
bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1
ayat (4) UUPA adalah tanah.
2.Air :Pengertian air menurut
Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air
yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No.
11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air
yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang
terdapat di atas maupun yang terdapat di laut.
3. Ruang
Angkasa :Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah
ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia.
4. Kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya:Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi di sebut bahan, yaitu
unsur-unsur kimia, mineral, biji-biji dan segala macam batuan, termasuk
batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-undang No. 1
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan).
Pengertian agraria dalam
arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan
pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.Pengertian tanah yang dimaksudkan
disini buka dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis,
yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA
dalam arti luas.[3]
Indonesia yang beragam
sehingga berimplikasi terhadap aspek-aspek lain di luar kebudayaan, termasuk
aspek yang abstrak yang berkembang di masyarakat. Termasuk segi hukum ataupun
norma-norma yang berlaku di masyarakat adat. Plural yang memiliki arti beragam
atau bermacam-macam, maksud dari prulalisme hukum adalah fakta keragaman itu
diterima sepanjang diakui oleh negara.[4]
Istilah hukum adat menunjuk kepada
tatanan pemerintah adat yang harus diakui dan dihormati oleh negara,
berdasarkan apa yang dinamakan “hak asal-usul”. Pasal 18 UUD 1945 sebelum
amandemen memberikan perlindungan luas dan langsung terhadap hak masyarakat
hukum adat.[5]
Konsep hukum adat, ulayat adalah
wilayah pengelolalaan yang berada dalam penguasaan bersama suatu masyarakat
hukum adat yang memiliki kedaulatan dalam menentukan pengelolalaannya.
Penguasaan masyarkat hukum adat diimplementasikan oleh wakil-wakil mereka. Di
dalam hukum ulayat terkandung seluruh kekayaan alam, mulai dari permukaan
tanah, dasar bumi sampai ke udara yang terdiri dari benda-benda mati.[6]
Gaya
hidup mereka yang unik menjadi sasaran obejek komersial industri pariwisata
yang prospektif, baik untuk sasaran domestik ataupun internasional, walaupun
hal ini cukup merisaukan bagi mereka terutama mengenai pudarnya pandangan
mereka yang tidak ingin mengenal teknologi dengan berinteraksi dengan
orang-orang dari luar mereka. Namun pada kenyataannya mereka merupakan aset
besar bagi sumber pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Beberapa Pengusaha
lokal.[7]
Berkaitan
dengan subtansi hukum, ketidakjelasan definisi dan peran lembaga pelaksana
merupakan hal yang kritikal. Meskipun UUD 1945 mengakui keberadaan masyrakat
hukum adat. Orang baduy Dalam ataupun orang Baduy Luar hidup dalam wilayah
tradisional mereka, mengelola wilayah mereka berdasarkan kebiasaan (adat), dan
mempraktikkan suatu sistem pemerintahan unik yang membedakan mereka dengan
desa-desa lain di Banten.
Permasalahan
pelanggaran terhadap batas-batas tanah dan hutan adat mereka, orang-orang Baduy
memohon pengakuan dan perlindungan dari pemerintah terhadap hak-hak mereka.
Pada tahun 1968 Gubernur Jawa Barat mengeluarkan keputusan No.
2003/B-V/Pem/SK/68 yang menetapkan hutan Baduy sebagai hutan lindung. Pada
bulan agustus 1990, DPRD Kabupaten menyetujui Peraturan Daerah yang memberikan
pengakuan terhadap lembaga-lemabaga adat masyrakat Baduy, namun hal tersebut tidak
mampu membendung keinginan mereka.
Ketika
orang-orang Baduy melobi pemerintah daerah melalu beberapa LSM ataupun lembaga
lainnya hingga dianggap usahanya mulai menuai keberhasilan dengan terlaksananya
kunjungan Presiden Abdurahman Wahid ke Desa Kanekes pada tahun 2000 guna
menunjukan kepedulian dan penghormatannya terhadap masyarakat hukum adat Baduy,
peran mereka di dalam pelestarian lingkungan. Keberhasilan mereka dipicu oleh
kenyataan bahwa Menteri Witoelar adalah salah satu tokoh LSM lingkungan Hidup
yang disegani. Sementara Gus Dur merupakan salah satu kampiun yang terkenal
bahkan di kalangan internasional dalam memajukan diaolog kerukunan antar agama
dalam masyarakat majemuk-budaya termasuk penghormatannya terhadap agama-agama
lain dan kepercayaan tradisional.
Kunjungannya
dipersepsikan sebagai suatu tekanan politik kepada Bupati Lebak agar secara
konkrit menunjukan penghoramtan kepada masyarakat Baduy. Kunjungan ini
dimanfaatkan oleh WAMMBY untuk mengingatkan Bupati agar memanfaatkan ruang
lingkup baru otonomi daerah dengan mengeluarkan peraturan yang memberi
perlindungan hukum kepada masyarakat Baduy, termasuk wilayah teritorial mereka
dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
setelah
melalui sejumlah proses perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal
13 Agustus 2001 DPRD Kabupaten menyetujui
Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat
Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam jenisnya di
Indonesia.
BAB III. KESIMPULAN
Suku
Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa
Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih
memegang tradisi dan adat yang sangat kuat, masyarakat tersebut lebih senang
menyebut dirinya sebagai urang Kanekes yang berarti orang Kenekes. Salah satu
hal yang menjadi ciri khas dari suku tersebut adalah ketidakinginan dari
masyaraktnya untuk tidak mencampuri urusan orang selain dari suku mereka.
Wilayah Baduy meliputi Cikeusik,
Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang
melewati wilayah itu sungai CiBaduy. Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang
sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. Baduy luar atau biasanya
mereka menyebutnya Urang Panamping. Cirinya, selalu berpakaian hitam. Sedangkan
suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk
kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat
lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Selain itu
tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam
Permasalahan
pelanggaran terhadap batas-batas tanah dan hutan adat mereka, orang-orang Baduy
memohon pengakuan dan perlindungan dari pemerintah terhadap hak-hak mereka..
Keberhasilan mereka dipicu oleh kenyataan bahwa Menteri Witoelar dan Gus Dur.
Kunjungannya dipersepsikan sebagai suatu tekanan politik kepada Bupati Lebak
agar secara konkrit menunjukan penghoramtan kepada masyarakat Baduy.
Setelah
melalui sejumlah proses perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal
13 Agustus 2001 DPRD Kabupaten menyetujui
Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat
Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam jenisnya di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Andiko, “Upaya Tiada
Henti Mempromosikan Pluralisme Dalam Hukum Agraria DI Indonesia” dalamMyrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di
Indonesia,
Jakarta: Epistema Institute, 2011.
Anne Ahira, Beragam Makalah Untuk Suku Baduy diunduh
dari http://www.anneahira. com/makalah-suku-Baduy.htm
pada tanggal 12 Januari 2013.
Bersama
Suku Baduy diunduh dari http://members.tripod.com/~stbenny/
perjalanan/Baduy/suku_Baduy.htm pada tanggal 12 Jnuanuari 2013.
Myrna A.S., “Bersikap
Kritis Terhadap Pluralisme Hukum”dalam Myrna
A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum?
Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di Indonesia,Jakarta: Epistema Institute, 2011.
Pengertian
Agraria Dan Hukum Agraris, diunduh dari http://coemix92.
wordpress.com/2011/05/23/pengertian-agraria-dan-hukum-agraris/ pada tanggal 3 Januari
2013.
Sandra Moniaga, “Antara
Hukum Negara Dan Realitas Sosial Politik Di Tataran Kabupaten: Perjuangan
Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat Di Pedesaan Banten” dalam Myrna A. Safitri Dan Tristam Moeliono,
Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia Jakarta: HuMA, 2010.
[1] Anne Ahira, Beragam Makalah
Untuk Suku Baduydiunduh dari http://www.anneahira. com/makalah-suku-Baduy.htm
pada tanggal 12 JAnuari 2013.
[2]Bersama Suku Baduy diunduh dari http://members.tripod.com/~stbenny/
perjalanan/Baduy/suku_Baduy.htm pada tanggal 12 Jnuanuari 2013.
[3]Pengertian
Agraria Dan Hukum Agraris, diunduh dari http://coemix92.
wordpress.com/2011/05/23/pengertian-agraria-dan-hukum-agraris/ pada
tanggal 3 Januari 2013.
[4] Myrna A.S., “Bersikap Kritis Terhadap Pluralisme Hukum”dalam dalam Myrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi,
dalamKonflikAgraria di Indonesia (Jakarta: Epistema Institute, 2011), hal. 7.
[5] Sandra Moniaga, “Antara Hukum Negara Dan Realitas Sosial Politik Di
Tataran Kabupaten: Perjuangan Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat Di Pedesaan
Banten” dalam Myrna A. Safitri Dan
Tristam Moeliono, Hukum Agraria Dan
Masyarakat Di Indonesia, hal. 147.
[6] Andiko, “Upaya Tiada Henti
Mempromosikan Pluralisme Dalam Hukum Agraria DI Indonesia” dalam Myrna A.
Safitri dan Tristam Moeliono (penyunting), Hukum Agraria dan Masyarakat di
Indonesia (Jakarta: HuMA, 2010), hal. 67-68.
[7] Sandra Moniaga, Loc Cit. Hal. 162.
0 comments:
Posting Komentar