Pages

Subscribe:

Jumat, 31 Mei 2013

USAHA PENGAMBILAN HAK ULAYAT OLEH MASYARAKAT BADUY

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suku Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih memegang tradisi dan adat yang sangat kuat Dalam hal politik dan sosial, masyarakat Baduy juga masih memberlakukan sistem pemerintahan lama yang berbasis tradisional.
Suku Baduy yang tinggal di daerah hutan konservasi ini mulai resah ketika undang-undang mengenai kepemilikan hutan lindung yang dimiliki oleh pemerintah, sehingga penduduk siapapun dilarang untuk mengambil apapun yang berasal dari hutan tersebut, tentu hal ini mendapatkan protes yang serius pasalnya bahwa nenek moyang mereka telah tinggal di daerah tersebut jauh berpuluh-puluh tahun dibandingkan dengan dengan lahirnya peraturan tersebut.
Berbagai usahapun dilakukan agar hak ulayat mereka dapat dipertahankan, terlebih bahwa keingina pemerintah daerah dan swasta yang menginginkan daerah tersebut menjadi objek pariwisata yang tentu hanya untuk kepentingan komerseial dengan menjual kebudayaan mereka. Usaha mereka dinilai berhasil sehingga mereka dapat mempertahankan tanah nenek moyang mereka dari usaha penghilangan hak dari pemerintah pusat pada masa Orde Baru.

1.2. Rumusan Maslah
1.      Seperti apakah suku baduy yang dimaksud?
2.      Langkah apa yang dilakukan untuk mendapatkan kembali hak mereka?

1.3. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui tentang suku baduy.
2.      Untuk mengetahui bagaimana proses orang-orang Baduy dalam menuntut hak mereka.


3.       
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Suku Baduy
            Suku Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih memegang tradisi dan adat yang sangat kuat, masyarakat tersebut lebih senang menyebut dirinya sebagai urang Kanekes yang berarti orang Kenekes. Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari suku tersebut adalah ketidakinginan dari masyaraktnya untuk tidak mencampuri urusan orang selain dari suku mereka. Mereka beranggapan bahwa segala hal yang berada di luar masyarakat Kanekes  lebih bersifat duniawi daripada urusan akhirat sehingga nilai-nili primordial yang ditanamkan di daerah semenjak kecil dianggap terganggu oelh masyarakat modern. Dalam hal politik dan sosial, masyarakat Baduy juga masih memberlakukan sistem pemerintahan lama yang berbasis tradisional.[1]
            Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu sungai CiBaduy. Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya.Baduy luar atau biasanya mereka menyebutnya Urang Panamping. Cirinya, selalu berpakaian hitam.
Umumnya orang Baduy luar sudah mengenal kebudayaan luar (diluar dari kebudayaan Baduy-nya sendiri) seperti bersekolah sehingga bisa membaca danmenulis, bisa berbahasa Indonesia. Mata pencaharian mereka bertani.Gula aren adalah hasil dari mereka. Didaerah sana memang banyak terdapat pohon aren.
Sedangkan suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Selain itu tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam.
Orang Baduy dalam terkenal teguh dalam tradisinya. Mereka selalu berpakaian warna putih dengan kain ikat kepala serta golok. Semua perlengkapan ini mereka buat sendiri dengan tangan. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang, jadi mereka tidak pernah menggunakan kendaraan
Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Jembatan ini dibuat tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. [2]

2.1. Usaha Orang-Orang Baduy Untuk Mengambil Hak Mereka
            Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Dalam Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya.
Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (BARAKA).Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bumi :Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah tanah.

2.Air :Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun yang terdapat di laut.

3. Ruang Angkasa :Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia.
4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi di sebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral, biji-biji dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan).
Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti luas.[3]
            Indonesia yang beragam sehingga berimplikasi terhadap aspek-aspek lain di luar kebudayaan, termasuk aspek yang abstrak yang berkembang di masyarakat. Termasuk segi hukum ataupun norma-norma yang berlaku di masyarakat adat. Plural yang memiliki arti beragam atau bermacam-macam, maksud dari prulalisme hukum adalah fakta keragaman itu diterima sepanjang diakui oleh negara.[4]
            Istilah hukum adat menunjuk kepada tatanan pemerintah adat yang harus diakui dan dihormati oleh negara, berdasarkan apa yang dinamakan “hak asal-usul”. Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen memberikan perlindungan luas dan langsung terhadap hak masyarakat hukum adat.[5]
            Konsep hukum adat, ulayat adalah wilayah pengelolalaan yang berada dalam penguasaan bersama suatu masyarakat hukum adat yang memiliki kedaulatan dalam menentukan pengelolalaannya. Penguasaan masyarkat hukum adat diimplementasikan oleh wakil-wakil mereka. Di dalam hukum ulayat terkandung seluruh kekayaan alam, mulai dari permukaan tanah, dasar bumi sampai ke udara yang terdiri dari benda-benda mati.[6]
Gaya hidup mereka yang unik menjadi sasaran obejek komersial industri pariwisata yang prospektif, baik untuk sasaran domestik ataupun internasional, walaupun hal ini cukup merisaukan bagi mereka terutama mengenai pudarnya pandangan mereka yang tidak ingin mengenal teknologi dengan berinteraksi dengan orang-orang dari luar mereka. Namun pada kenyataannya mereka merupakan aset besar bagi sumber pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Beberapa Pengusaha lokal.[7]
Berkaitan dengan subtansi hukum, ketidakjelasan definisi dan peran lembaga pelaksana merupakan hal yang kritikal. Meskipun UUD 1945 mengakui keberadaan masyrakat hukum adat. Orang baduy Dalam ataupun orang Baduy Luar hidup dalam wilayah tradisional mereka, mengelola wilayah mereka berdasarkan kebiasaan (adat), dan mempraktikkan suatu sistem pemerintahan unik yang membedakan mereka dengan desa-desa lain di Banten.
Permasalahan pelanggaran terhadap batas-batas tanah dan hutan adat mereka, orang-orang Baduy memohon pengakuan dan perlindungan dari pemerintah terhadap hak-hak mereka. Pada tahun 1968 Gubernur Jawa Barat mengeluarkan keputusan No. 2003/B-V/Pem/SK/68 yang menetapkan hutan Baduy sebagai hutan lindung. Pada bulan agustus 1990, DPRD Kabupaten menyetujui Peraturan Daerah yang memberikan pengakuan terhadap lembaga-lemabaga adat masyrakat Baduy, namun hal tersebut tidak mampu membendung keinginan mereka.
Ketika orang-orang Baduy melobi pemerintah daerah melalu beberapa LSM ataupun lembaga lainnya hingga dianggap usahanya mulai menuai keberhasilan dengan terlaksananya kunjungan Presiden Abdurahman Wahid ke Desa Kanekes pada tahun 2000 guna menunjukan kepedulian dan penghormatannya terhadap masyarakat hukum adat Baduy, peran mereka di dalam pelestarian lingkungan. Keberhasilan mereka dipicu oleh kenyataan bahwa Menteri Witoelar adalah salah satu tokoh LSM lingkungan Hidup yang disegani. Sementara Gus Dur merupakan salah satu kampiun yang terkenal bahkan di kalangan internasional dalam memajukan diaolog kerukunan antar agama dalam masyarakat majemuk-budaya termasuk penghormatannya terhadap agama-agama lain dan kepercayaan tradisional.
Kunjungannya dipersepsikan sebagai suatu tekanan politik kepada Bupati Lebak agar secara konkrit menunjukan penghoramtan kepada masyarakat Baduy. Kunjungan ini dimanfaatkan oleh WAMMBY untuk mengingatkan Bupati agar memanfaatkan ruang lingkup baru otonomi daerah dengan mengeluarkan peraturan yang memberi perlindungan hukum kepada masyarakat Baduy, termasuk wilayah teritorial mereka dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
setelah melalui sejumlah proses perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal 13 Agustus 2001 DPRD Kabupaten menyetujui  Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam jenisnya di Indonesia.




BAB III. KESIMPULAN
Suku Baduy adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan Keudeng, yaitu di desa Kanekes, Leuwindar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy masih memegang tradisi dan adat yang sangat kuat, masyarakat tersebut lebih senang menyebut dirinya sebagai urang Kanekes yang berarti orang Kenekes. Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari suku tersebut adalah ketidakinginan dari masyaraktnya untuk tidak mencampuri urusan orang selain dari suku mereka.
            Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu sungai CiBaduy. Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. Baduy luar atau biasanya mereka menyebutnya Urang Panamping. Cirinya, selalu berpakaian hitam. Sedangkan suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Selain itu tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam
Permasalahan pelanggaran terhadap batas-batas tanah dan hutan adat mereka, orang-orang Baduy memohon pengakuan dan perlindungan dari pemerintah terhadap hak-hak mereka.. Keberhasilan mereka dipicu oleh kenyataan bahwa Menteri Witoelar dan Gus Dur. Kunjungannya dipersepsikan sebagai suatu tekanan politik kepada Bupati Lebak agar secara konkrit menunjukan penghoramtan kepada masyarakat Baduy.
Setelah melalui sejumlah proses perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal 13 Agustus 2001 DPRD Kabupaten menyetujui  Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam jenisnya di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
Andiko, “Upaya Tiada Henti Mempromosikan Pluralisme Dalam Hukum Agraria DI Indonesia” dalamMyrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di Indonesia, Jakarta: Epistema Institute, 2011.
Anne Ahira, Beragam Makalah Untuk Suku Baduy diunduh dari http://www.anneahira. com/makalah-suku-Baduy.htm pada tanggal 12 Januari 2013.
Bersama Suku Baduy diunduh dari http://members.tripod.com/~stbenny/ perjalanan/Baduy/suku_Baduy.htm pada tanggal 12 Jnuanuari 2013.
Myrna A.S., “Bersikap Kritis Terhadap Pluralisme Hukum”dalam Myrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di Indonesia,Jakarta: Epistema Institute, 2011.
Pengertian Agraria Dan Hukum Agraris, diunduh dari http://coemix92. wordpress.com/2011/05/23/pengertian-agraria-dan-hukum-agraris/ pada tanggal 3 Januari 2013.
Sandra Moniaga, “Antara Hukum Negara Dan Realitas Sosial Politik Di Tataran Kabupaten: Perjuangan Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat Di Pedesaan Banten”  dalam Myrna A. Safitri Dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia Jakarta: HuMA, 2010.


[1] Anne Ahira, Beragam Makalah Untuk Suku Baduydiunduh dari http://www.anneahira. com/makalah-suku-Baduy.htm pada tanggal 12 JAnuari 2013.
[2]Bersama Suku Baduy diunduh dari http://members.tripod.com/~stbenny/ perjalanan/Baduy/suku_Baduy.htm pada tanggal 12 Jnuanuari 2013.
[3]Pengertian Agraria Dan Hukum Agraris, diunduh dari http://coemix92. wordpress.com/2011/05/23/pengertian-agraria-dan-hukum-agraris/ pada tanggal 3 Januari 2013.
[4] Myrna A.S., “Bersikap Kritis Terhadap Pluralisme Hukum”dalam dalam Myrna A. Safitri (editor), UntukApaPluralismeHukum? Konsep, Regulasi, dalamKonflikAgraria di Indonesia (Jakarta: Epistema Institute, 2011), hal. 7.
[5] Sandra Moniaga, “Antara Hukum Negara Dan Realitas Sosial Politik Di Tataran Kabupaten: Perjuangan Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat Di Pedesaan Banten”  dalam Myrna A. Safitri Dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia, hal. 147.
[6] Andiko, “Upaya Tiada Henti Mempromosikan Pluralisme Dalam Hukum Agraria DI Indonesia” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (penyunting), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia (Jakarta: HuMA, 2010), hal. 67-68.
[7] Sandra Moniaga, Loc Cit. Hal. 162.

0 comments:

Posting Komentar